Senin, 14 Maret 2016

belum ada judul

Bab 1

Suara pahatan kayu bergema dari dalam studio yang hanya berukuran sepuluh meter persegi, dengan jendela terbuat dari kayu jati kokoh terbuka lebar membiarkan hembusan angin memainkan tirainya dengan perlahan. Sinar matahari menyambangi sudut ruangan dengan ramah, seakan menjadi lentera bagi orang yang sedang  larut dalam dunianya.  Irama pahatannya merdu, entah sudah terbiasa atau memang irama ini yang selalu terdengar dari rumah ini. Sorot matanya tajam menatap detail pahatan yang sedang dikerjakan, sebuah ukiran Panglima Guan Yu, pesanan seorang konglomerat dari Jakarta yang sudah tiga bulan ini dikerjakannya. Ada tekstur yang dirasa masih kurang, belum mendekati imajinasinya, dia mengharapkan kesan gagah namun welas asih bisa terpatri dalam pahatan wajah Guan Yu ini. Menurut legenda, dia salah seorang Jenderal tersohor di Zaman Tiga Negara, dan dengan latar belakang seorang rakyat jelata, maka kesan garang penuh kekuatan dirasa tidak terlalu pas dengannya. Sebaliknya, bersahaja namun penuh pemikiran yang dalam. 

Dengan tangannya yang kokoh, Danu, mulai mengamplas beberapa bagian. Sesekali dia bisa mendengar deru kendaraan melaju pelan di jalanan depan studionya. Sudah hampir tujuh tahun lamanya, Danu memilih menetap di kota kecil ini, tempat silsilah keluarga besarnya berasal.  Dalam kenyataannya dia sendiri terlahir di kerasnya Ibukota lebih dari tiga dekade silam. Kepuasan batin, keseimbangan jiwa dan raga memang menjadi prioritas dia ketika memilih meninggalkan hiruk pikuk Ibukota. Walaupun masih banyak pertimbangan lainnya, tapi toh alasan ingin menekuni hobi dan keahliannya, sudah cukup untuk membuat Danu meninggalkan semuanya.

Danu memandangi pahatan Guan Yu di depannya, keringat yang bermunculan segera Ia seka dengan handuk kecil di bahunya. Ketika dulu dia mengambil jurusan Seni, Ayahnya sempat menentang dengan keras. Seniman tidak menghasilkan apapun, ‘ Memangnya kamu bisa hidup enak dengan kayu dan pahatan?’ begitu wejangan sang Ayah yang selalu dia ingat. Tetapi idealisme adalah kiblat bagi darah remaja Danu saat itu, dan sebuah ‘tanda mata’ di pipi adalah hasil yang dia dapat dari perbedaan pendapatnya dengan sang Ayah. Selanjutnya seperti kisah tahun `80an yang sempat terkenal, Danu remaja hidup bebas,  mengikuti jiwa seninya, mengembara mencari jati diri, namun tak jarang identitasnya dipertanyakan seperti Van Gogh. Lamunan Danu buyar seketika, ketika ketukan kecil terdengar dari pintu studionya, dia mengenali suara yang memanggilnya

                “Den Danu” sudah berapa kali Danu ingatkan agar Mbok Nem tidak usah memanggilnya dengan sebutan ‘Den”. Rasanya dipanggil dengan bentuk penghormatan seperti itu membuat dirinya kikuk, tapi hal seperti itu sudah merupakan hal yang mendarah daging bagi penduduk di sekitar sini tampaknya. Akhirnya dia menyerah memberitahu Mbok Nem agar tidak memanggilnya seperti itu, biarkan saja pikirnya.

                “Den Danu..permisi si Mbok mengganggu” ulang Mbok Nem dari luar studionya. Danu membuka pintu perlahan, agar cahaya matahari tidak langsung menyilaukan matanya yang masih membiasakan diri.

                “Ya, Mbok? Ada apa?” matanya masih memincing, berusaha menghalangi sinar matahari yang menyerbu masuk indra penglihatannya.

                “Anu, Den… itu ada tamu.” Mbok Nem berkata pelan, jemarinya tidak berhenti memainkan kain jarik yang dikenakannya. Biasanya itu pertanda jika dia sungkan, atau ada yang membuatnya gelisah.

                “Tamu, Mbok?” Danu mengerenyit heran, “Siapa? Rasanya hari ini saya tidak ada janji bertemu orang.”

“Itu..ng...yang pakai baju cokelat-cokelat, Pulisi, Den.” jawab Mbok nem ragu-ragu

“Pulisi? Oh, Polisi  maksud, Mbok?” Danu semakin heran dengan perkataan Mbok Nem.

“I..iya, Den. Si Mbok minta tunggu di luar dulu, soalnya mereka minta ketemu sama Den Danu”
“Ya sudah, suruh mereka masuk dulu, Mbok. Saya ganti baju dulu, nanti saya temui mereka.”

“Baik, den. Tapi…anu,Den. Den Danu nggak kenapa-kenapa kan? Si Mbok takut pas bapak-bapak itu datang”

                “Nggak, Mbok Nem. Tenang saja. Sudah jangan biarkan tamu menunggu, Mbok. Saya akan menysusul ke ruang tamu.”


Mbok Nem mengangguk lalu segera pergi meninggalkan studio kerja Danu. Rumah utama dengan studionya memang dibangun terpisah, karena Danu ingin fokus bekerja ketika memahat dalam ruangan yang hanya dia tahu. Setelah asisten rumah tangganya pergi, Danu mengambil baju yang tadi dia tanggalkan ketika memahat, dan mengenakannya  kembali. Dia rasa, Para Polisi itu pasti paham beratnya pekerjaan seorang pemahat seperti dirinya, walaupun kali ini dia tidak tahu apa yang membuat abdi Negara itu datang ke rumahnya. Seingat dia, urusan melanggar  hukum terakhir yang dia lakukan, adalah berputar di tikungan yang salah, itupun dapat diselesaikan dengan satu salaman saja.  

Tidak ada komentar: