Rabu, 16 Maret 2016

Belum Ada Judul: Bab 2 (Part 3)

Bab 2

Bripka Arifin menerima kabar pembunuhan Adi Perdana sesaat setelah dia sampai di rumah. Malam itu dia ada acara dengan beberapa orang anak buahnya, dan baru kembali setelah hari larut. Sebuah kasus pembunuhan sangat tidak biasa, bahkan jika bisa dia urutkan, sepanjang karirnya di kota ini kasus pembunuhan jarang terjadi,atau bahkan dalam ingatannya hanya ada tiga kasus yang berkaitan dengan nyawa pernah dia tangani. Selebihnya hanya kasus pencurian, pertikaian keluarga, perkelahian antar kampung, atau orang hilang.

Di kota dengan penduduk yang bisa dikatakan lugu dan polos, tradisi menghormati orang yang disegani masih terjaga kokoh, jika ada pendatang atau pelancong mampir di kota ini, bisa dipastikan dia akan mendapatkan perlakuan seperti raja. Dia teringat pada masa awal tugasnya ditempatkan di kota ini, semua orang menyeganinya,bahkan menganggap jika dia lewat seolah-olah Bupati sedang  ikut serta. Lambat laun -dan butuh perjuangan ekstra- akhirnya dia mampu menepis kesan tersebut, bukankah tugas seorang  Abdi Negara untuk menjadi pengayom warganya? Jika warganya segan, maka dengan cara apa dia akan merangkul kesatuannya? Maka ketika kabar pembunuhan Adi Perdana hinggap di layar ponselnya, dia secepat mungkin pergi menuju lokasi kejadian. Ini kota kecil, kabar sekecil apapun dapat menyebar dengan cepat, apalagi peristiwa besar semacam ini? Walau malam dingin mencekam, hal itu tidak mengoyahkan semangatnya untuk bertugas, jika insting polisinya benar, maka kasus ini bukan kasus biasa.

Hotel tempat korban ditemukan tewas tidak mewah, di kota ini hanya ada tiga hotel, itupun hanya kelas melati. Di parkiran depan ada dua buah mobil salah satunya berasal dari luar daerah sini, mungkin mobil korban. Bripka Arifini masuk menuju  loby penerima tamu, dikatakan loby hanya sebuah meja cokelat dengan tinggi satu meter dan telepon yang sudah memudar warnanya. Kursi-kursi dengan model tua, busa sofanya sudah mulai terlihat dan mencuat keluar di berbagai sisi.

                “Lapor!” suara anak buahnya memecah keheningan saat dia datang, masih dengan pakaian tugas lengkap, pastilah dia yang saat itu piket malam. Adrenalin memompa semangatnya, siapapun yang mendapati kasus besar di tengah malam jelas akan berapi-api. Tangannya yang memberi gerakan hormat singkat dia turunkan kembali, “Kejadiannya ada di dalam, Pak! Kamar dua belas”

                “Jelaskan situasinya, singkat dan jelas!” seru Bripka Arifin kepada anak buahnya, lalu dia mengikuti arah yang diberikan, menuju kamar dua belas. Hotel ini, mungkin lebih tepat jika disebut losmen, memiliki dua puluh tiga kamar. Kamar nomor dua belas yang disebutkan tadi berada di lantai dua bangunan baru, terpisah oleh taman kecil dari bangunan utama. Mudah menemukannya, karena berada di dekat tangga, dan sedang dikerubungi oleh beberapa petugas.

                “Korban ditemukan tewas oleh petugas hotel yang akan mengantarkan tamu untuk menginap. Itu mereka” Bripka Arifin melihat kepada orang yang disebut sebagai saksi. Dia mendengarkan kesaksian mereka. Karyawan hotel seorang laki-laki berusia awal dua puluh tahun, dan pasangan yang gelisah ditanyai oleh petugas.

                “Bapak dan Ibu ini akan menginap di kamar nomor sebelas, di samping kamar Bapak Adi, Pak. Sa..saya lihat pintu kamar ini terbuka, tapi keadaan gelap.”

                “Lalu?” Bripka Arifin kali ini membantu anak buahnya meminta keterangan dari saksi “Apa yang kamu lihat, Mas….. hmm..” sambil membalik-balikan catatan keterangan yang dipegangnya, berusaha mencari data nama para saksinya “ Mas Sofyan?”

                “Karena gelap, saya panggil bapaknya. Waktu itu pintunya sedikit terbuka, tapi, nda dijawab-jawab. Padahal Pak Adi baru keluar besok siang. Ketika saya buka lebih lebar, saya nyalakan itu lampunya. Lalu Pak Adi di sana berdarah, Pak Polisi”  tunjuk Sofyan padanya.

                “Lalu Bapak, dan Ibu ini?” liriknya tajam pada pasangan yang salah tingkah di hadapannya “Saya asumsikan, Bapak dan Ibu kemari untuk sekedar menepis lelah, benar?” ada penekanan di kalimat terkahir yang ditujukan kepada pasangan tersebut.

                “I..I..Iya sih, Pak. Tapi bu..bukan kami, Pak. Sumpah.” kali ini sang lelaki berbicara terbata-bata. “Ka..kami, cuma teman, Pak”
                Bripka Arifin tidak meneruskannya kembali, “Silahkan Bapak, dan Ibu nanti ikut anak buah saya yang akan mendata identitas diri, dan juga..” belum selesai Bripka Arifin berbicara, kali ini pasangan wanitanya yang menyela
                “Pak, bisa kita anggap ini tidak ada apa-apa? Bisa gawat kalau ketahuan orang rumah.”

                “Bu, justru lebih gawat lagi jika kami tidak mengklarifikasi keterangan kalian berdua dari sekarang. Mungkin saja Ibu dan Bapak adalah pelakunya? Maka silahkan ikuti anak buah saya untuk dimintai keterangannya. “penjelasan itu membuat kedua pasangan tidak sah yang sedang bernasib sial itu menunduk lesu. Sudah bisa dibayangkan kejadian yang akan membuntuti mereka setelah malam ini.

Bripka Arifin lalu memasuki kamar tempat korban menginap. Kamar dengan satu tempat tidur, dan kamar mandi di dalam itu lembab. Bau sprai bercampur kapur barus lebih mendominasi dibandingkan harum pewangi ruangan yang ditempatkan di tepi teralis jendela. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di pintu, artinya korban membiarkan pelaku masuk. Perlahan dia mendekati jasad yang terbujur kaku di atas tempat tidur. Masih mengenakan piama, Bripka Arifin melihat sekelilingnya lagi dan menanyai Sofyan yang tidak diizinkan untuk pergi “Mas Sofyan, piama ini” dia menunjuk piama korban berwarna putih dengan noda darah “apa fasilitas penginapan?”

                “Anu, bukan, Pak. Di sini tidak ada baju ganti, mau pinjam peralatan mandi pun harus menghubungi saya dulu baru dikasi”

                Mendengar hal itu, Bripka Arifin mengangguk. Artinya korban memang membawa piama ini, atau seseorang yang mengenakannya. Dengan telunjuk yang digoyangkannya perlahan, dia meminta salah seorang anak buahnya mendekat, “Prabu, coba kamu buka piama korban. Kita lihat lukanya.”

                “Siap, Pak!” menggunakan plastik untuk melapisi tangannya.  dengan cekatan Prabu membuka piama korban. “Ada lima tusukan. Belum dapat dipastikan kedalaman tusukannya. Tapi dari darah yang berceceran, dan suhu tubuhnya korban dipastikan meninggal lebih dari dua jam yang lalu. Tampaknya karena kehabisan darah, Pak”

                “Ada barang bukti lain yang sudah ditemukan?”

                “Tadi kami melihat beberapa catatan di meja kecil dekat kasur. Ada hitungan, mungkin pembelian barang karena jumlahnya lebih dari enam digit, sebuah dompet dengan kartu identitas, dan kartu nama.”

                “Uang dan barang berharga lainnya?”

                “Tidak ada, Pak. Hanya tanda pengenal, dan kartu nama. Ini dia” Prabu menyerahkan temuan barang bukti kepada atasannya.


                “Kerja bagus.”  puji Bripka Arifin, dia memang menyukai sistem kerja yang efisien, analisa cepat dan ringkas, sehingga dia dapat mengambil langkah penyelidikan dari beberapa hipotesis yang sudah terkumpul. Sambil melihat tumpukan kartu nama, dia memilahnya dan membacanya dengan cermat. Korban sangat sering bepergian rupanya, ada tiket pesawat yang masih tersimpan, beberapa kartu nama dengan perusahaan-perusahaan dari berbagai daerah, dan satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah kartu nama yang terjatuh di dekat kaki korban. Dia mengambilnya, rupanya itu kartu nama korban, namun ada catatan singkat dengan nomor telepon di belakangnya. Nicholas Danuwirya.

Tidak ada komentar: