Bab 3
Henry Santoso membolak balik
semua laporan yang dia terima, ada setumpuk dokumen yang harus dia periksa,
belum lagi sekretarisnya baru saja membawakan perjanjian jual beli dengan
supplier perdagangan dari Korea Selatan. Kacamata baca yang dia kenakan sedikit
melorot seiring pandangannya menatap angka-angka yang tertera di dalam dokumen,
beberapa komoditi mengalami kenaikan harga, sedangkan penjualan perusahaannya
stagnan dalam triwulan pertama. Artinya ada beberapa hal yang akan dia
efisiensikan, kantor cabang baru yang akan dibuka dalam hitungan hari ke depan
menjadi salah satu harapannya mendongkrak keuntungan bagi perusahaanya. Tidak
mudah untuk terus bertahan dalam persaingan dunia ritel, banyaknya saingan usaha sejenis membuat perusahaannya harus
terus menerus melakukan hal yang baru setiap bulannya guna menarik konsumen.
Sebenarnya itu pekerjaan Divisi Marketing, dia membayar mahal mereka untuk
memikirkan strategi pengembangan dan promosi bisnis perusahaannya, tapi kabar
kematian kepala divisi Adi Perdana membuatnya runyam.
Dua hari setelah kematiannnya,
dia terus dihubungi oleh pihak berwajib sekedar dimintai keterangan. “Apakah
Bapak Adi benar melakukan kunjungan ke luar kota?” tentunya bagian personalia
lebih mengetahui hal itu, dan dia hanya menjawab sebatas informasi yang dia
peroleh dari para bawahannya. Sejujurnya dia tidak selalu tahu apa saja
kegiatan mereka, toh sudah ada bagian yang mengurusinya, yang penting kinerja
dan pendapatan perusahaan yang baru dia warisi lima tahun ini selalu baik. Istrinya selalu bersikukuh agar membuka
cabang di kawasan perniagaan baru dekat Alam Sutra, “Ada mall besar baru di sana, Pih. Prestise banget. Kita harus buka
cabang di sana” dan dia tidak akan berhenti meminta hingga rengekannya
dikabulkan. Dia hapal betul bagaimana sifat wanita itu. Setelah lobi panjang,
negoisasi harga, hingga perencanaan detail bangunan, akhirnya dia meneken
kontrak dengan pihak pengelola, namun kali ini dia membiarkan istrinya
mengelola salah satu cabang perusahaannya di bidang kuliner. Walaupun istrinya
tipe wanita yang manja, wanita itu punya insting bisnis yang bagus, lebih bagus
dari dirinya. Dia pula yang membantunya meraih posisi aman sebagai direksi PT
Global Jaya. Cantik tapi menakutkan, namun disitulah daya tariknya.
Bunyi intercom telepon menyela
kesibukan tangan Henry, dengan sigap dia meraih telepon di atas mejanya, “Ya,
ada apa, Dina?!” jawabnya pendek, lebih cenderung terburu-buru.
“Maaf, Pak. Anak anda ada di luar
ingin bertemu, saya sudah bilang anda tidak bisa diganggu” jawab sekretarisnya,
dengan sedikit ragu Dina melanjutkan pertanyaannya lagi, “Apa saya perlu
menyuruhnya agar kembali lagi nanti?” dia tahu jika bosnya tidak dalam suasana
hati yang baik, dengan sedikit keteguhan hati dia sudah siap jika semprotan
omelan akan dia terima siang itu.
Terdengar suara Henry yang
menghela nafas, “Suruh masuk saja” mungkin karena sederet pekerjaan yang belum
selesai dan keletihan yang menumpuk dia butuh sedikit istirahat, walaupun
kedatangan Harshita, anaknya belum tentu akan menenangkan pikiran dia.
Pelan, pintu ruangannya dibuka.
Harshita masuk dengan langkah gontai, rambut panjangnya dia biarkan terurai, tote
bag putih gading yang dia kenakan langsung dia lemparkan ke arah sofa di
ruangan ayahnya, raut wajahnya kusut, sekusut kain sofa yang kini dia duduki.
Henry memperhatikan tingkah anak gadisnya, “Kenapa lagi kamu?” akhirnya dia
melontarkan pertanyaan yang sering dia tanyakan untuk memecah keheningan. Jawabannya
sudah dapat diprediksi olehnya, dia hanya sekedar basa basi.
Tidak ada jawaban. Harshita
mengacuhkan pertanyaan ayahnya, jemarinya sibuk memainkan ponsel pintar yang
dia bawa dengan wajah ditekuk. “Jika tidak ada urusan, pulang sekarang juga.
Kantor papa bukan tempat anak manja berkeluh kesah” kesabaran Henry sedang
tidak bisa ditawar saat ini, tidak ada waktu untuk meladeni anak gadisnya yang
merajuk. Kembali dia kenakan kacamatanya, dan mulai menghitung angka-angka dan
mengetiknya kembali di komputer kerjanya.
Harshita merengut, dia sadar
tidak ada gunanya membuat ayahnya kesal saat ini, “Biasa” jawabnya lirih tanpa
memalingkan wajahnya dari ponsel pintarnya.
Henry menghentikan kembali
pekerjaannya, “Ibumu lagi?”
“Dia
bukan Ibuku, Pah” dengus Harshita dengan marah
“Sudah
berkali-kali papa katakan, jika hanya ribut urusan rumah tidak usah kamu bawa
ke sini.”
“
Kenapa Sita tidak boleh ikut serta dalam perencanaan usaha cabang yang baru,
Pa? Apa karena Sita masih muda?” suara Harshita meninggi
“
Ini lagi! Kita sudah membahasnya di rumah, Sita”
Harshita bangkit dari sofa
cokelat yang nyaman, sambil melipat tangannya dia mencoba memberikan penjelasan
yang masuk akal kepada ayahnya, “Pah, umurku sudah dua puluh dua, sudah banyak
belajar, bahkan tinggal setahun lagi Sita lulus program magister. Semua untuk
membantu Papa, tapi kenapa Sita tidak diberikan kesempatan untuk itu?”
“Jika
kamu ingin belajar, belajar dari Ibumu. Lebih baik, sekarang juga kamu pulang ke
rumah” tukas Henry tanpa memalingkan wajahnya, dia tidak menyadari ekspressi
putrinya yang kini geram.
“Pah,
ini tidak adil. Berikan Sita satu kesempatan saja!” alih-alih membujuk,
Harshita mengeraskan suaranya. Dia tahu di luar ruangan ini semua orang dapat mendengar
apa yang dia katakan, tapi dia tidak peduli. “Sudah cukup Sita melihat, ini
juga perusahaan Kakek, Sita berhak ikut andil dalam pengembangannya”
Tidak
tahan dengan sikap putrinya yang semakin melewati batas, Henry menggebrak meja
kerjanya, “Cukup!” hardiknya kini, dengan tergesa-gesa dia mendekati putrinya
kemudian berbisik tepat dihadapannya dengan intonasi yang tegas “Jangan lupa,
berkat dia, Papa berhasil seperti ini. Berkat wanita yang menjadi ibumu
sekarang, perusahaan kakekmu ini selamat! Camkan itu!” perkataan ini membuat
putrinya terdiam dan tidak mampu menjawab. Air mata mulai menggenang di pelupuk
matanya, namun dengan segera Harshita mengusapnya, berusaha tidak terlihat
lemah.
“
Jika kamu sudah mengerti, lebih baik kamu sekarang kembali ke rumah”
Tanpa diminta dua kali, Harshita
segera mengambil tasnya dan keluar ruangan itu dengan hati yang kesal. Dibantingnya
pintu ruangan ayahnya, membuat seluruh karyawan di lantai itu terdiam. Setelah Harshita
pergi, Henry Santoso keluar dan dengan segera memanggil sekretarisnya “Dina,
kemari!” singkat, namun masih dipenuhi amarah. Dina, sekretaris kepercayaannya
hanya bisa menelan ludahnya mendengar panggilan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar