Selasa, 22 Maret 2016

Belum Ada Judul: Bab 3

Bab 3

Henry Santoso membolak balik semua laporan yang dia terima, ada setumpuk dokumen yang harus dia periksa, belum lagi sekretarisnya baru saja membawakan perjanjian jual beli dengan supplier perdagangan dari Korea Selatan. Kacamata baca yang dia kenakan sedikit melorot seiring pandangannya menatap angka-angka yang tertera di dalam dokumen, beberapa komoditi mengalami kenaikan harga, sedangkan penjualan perusahaannya stagnan dalam triwulan pertama. Artinya ada beberapa hal yang akan dia efisiensikan, kantor cabang baru yang akan dibuka dalam hitungan hari ke depan menjadi salah satu harapannya mendongkrak keuntungan bagi perusahaanya. Tidak mudah untuk terus bertahan dalam persaingan dunia ritel, banyaknya saingan usaha sejenis membuat perusahaannya harus terus menerus melakukan hal yang baru setiap bulannya guna menarik konsumen. Sebenarnya itu pekerjaan Divisi Marketing, dia membayar mahal mereka untuk memikirkan strategi pengembangan dan promosi bisnis perusahaannya, tapi kabar kematian kepala divisi Adi Perdana membuatnya runyam.

Dua hari setelah kematiannnya, dia terus dihubungi oleh pihak berwajib sekedar dimintai keterangan. “Apakah Bapak Adi benar melakukan kunjungan ke luar kota?” tentunya bagian personalia lebih mengetahui hal itu, dan dia hanya menjawab sebatas informasi yang dia peroleh dari para bawahannya. Sejujurnya dia tidak selalu tahu apa saja kegiatan mereka, toh sudah ada bagian yang mengurusinya, yang penting kinerja dan pendapatan perusahaan yang baru dia warisi lima tahun ini selalu baik.  Istrinya selalu bersikukuh agar membuka cabang di kawasan perniagaan baru dekat Alam Sutra, “Ada mall besar baru di sana, Pih. Prestise banget. Kita harus buka cabang di sana” dan dia tidak akan berhenti meminta hingga rengekannya dikabulkan. Dia hapal betul bagaimana sifat wanita itu. Setelah lobi panjang, negoisasi harga, hingga perencanaan detail bangunan, akhirnya dia meneken kontrak dengan pihak pengelola, namun kali ini dia membiarkan istrinya mengelola salah satu cabang perusahaannya di bidang kuliner. Walaupun istrinya tipe wanita yang manja, wanita itu punya insting bisnis yang bagus, lebih bagus dari dirinya. Dia pula yang membantunya meraih posisi aman sebagai direksi PT Global Jaya. Cantik tapi menakutkan, namun disitulah daya tariknya.

Bunyi intercom telepon menyela kesibukan tangan Henry, dengan sigap dia meraih telepon di atas mejanya, “Ya, ada apa, Dina?!” jawabnya pendek, lebih cenderung terburu-buru.

“Maaf, Pak. Anak anda ada di luar ingin bertemu, saya sudah bilang anda tidak bisa diganggu” jawab sekretarisnya, dengan sedikit ragu Dina melanjutkan pertanyaannya lagi, “Apa saya perlu menyuruhnya agar kembali lagi nanti?” dia tahu jika bosnya tidak dalam suasana hati yang baik, dengan sedikit keteguhan hati dia sudah siap jika semprotan omelan akan dia terima siang itu.
Terdengar suara Henry yang menghela nafas, “Suruh masuk saja” mungkin karena sederet pekerjaan yang belum selesai dan keletihan yang menumpuk dia butuh sedikit istirahat, walaupun kedatangan Harshita, anaknya belum tentu akan menenangkan pikiran dia.

Pelan, pintu ruangannya dibuka. Harshita masuk dengan langkah gontai, rambut panjangnya dia biarkan terurai, tote bag putih gading yang dia kenakan langsung dia lemparkan ke arah sofa di ruangan ayahnya, raut wajahnya kusut, sekusut kain sofa yang kini dia duduki. Henry memperhatikan tingkah anak gadisnya, “Kenapa lagi kamu?” akhirnya dia melontarkan pertanyaan yang sering dia tanyakan untuk memecah keheningan. Jawabannya sudah dapat diprediksi olehnya, dia hanya sekedar basa basi.

Tidak ada jawaban. Harshita mengacuhkan pertanyaan ayahnya, jemarinya sibuk memainkan ponsel pintar yang dia bawa dengan wajah ditekuk. “Jika tidak ada urusan, pulang sekarang juga. Kantor papa bukan tempat anak manja berkeluh kesah” kesabaran Henry sedang tidak bisa ditawar saat ini, tidak ada waktu untuk meladeni anak gadisnya yang merajuk. Kembali dia kenakan kacamatanya, dan mulai menghitung angka-angka dan mengetiknya kembali di komputer kerjanya.

Harshita merengut, dia sadar tidak ada gunanya membuat ayahnya kesal saat ini, “Biasa” jawabnya lirih tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel pintarnya.

Henry menghentikan kembali pekerjaannya, “Ibumu lagi?”

                “Dia bukan Ibuku, Pah” dengus Harshita dengan marah

                “Sudah berkali-kali papa katakan, jika hanya ribut urusan rumah tidak usah kamu bawa ke sini.”

                “ Kenapa Sita tidak boleh ikut serta dalam perencanaan usaha cabang yang baru, Pa? Apa karena Sita masih muda?” suara Harshita meninggi

                “ Ini lagi! Kita sudah membahasnya di rumah, Sita”

Harshita bangkit dari sofa cokelat yang nyaman, sambil melipat tangannya dia mencoba memberikan penjelasan yang masuk akal kepada ayahnya, “Pah, umurku sudah dua puluh dua, sudah banyak belajar, bahkan tinggal setahun lagi Sita lulus program magister. Semua untuk membantu Papa, tapi kenapa Sita tidak diberikan kesempatan untuk itu?”

                “Jika kamu ingin belajar, belajar dari Ibumu. Lebih baik, sekarang juga kamu pulang ke rumah” tukas Henry tanpa memalingkan wajahnya, dia tidak menyadari ekspressi putrinya yang kini geram.

                “Pah, ini tidak adil. Berikan Sita satu kesempatan saja!” alih-alih membujuk, Harshita mengeraskan suaranya. Dia tahu di luar ruangan ini semua orang dapat mendengar apa yang dia katakan, tapi dia tidak peduli. “Sudah cukup Sita melihat, ini juga perusahaan Kakek, Sita berhak ikut andil dalam pengembangannya”

                Tidak tahan dengan sikap putrinya yang semakin melewati batas, Henry menggebrak meja kerjanya, “Cukup!” hardiknya kini,  dengan tergesa-gesa dia mendekati putrinya kemudian berbisik tepat dihadapannya dengan intonasi yang tegas “Jangan lupa, berkat dia, Papa berhasil seperti ini. Berkat wanita yang menjadi ibumu sekarang, perusahaan kakekmu ini selamat! Camkan itu!” perkataan ini membuat putrinya terdiam dan tidak mampu menjawab. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun dengan segera Harshita mengusapnya, berusaha tidak terlihat lemah.

                “ Jika kamu sudah mengerti, lebih baik kamu sekarang kembali ke rumah”


Tanpa diminta dua kali, Harshita segera mengambil tasnya dan keluar ruangan itu dengan hati yang kesal. Dibantingnya pintu ruangan ayahnya, membuat seluruh karyawan di lantai itu terdiam. Setelah Harshita pergi, Henry Santoso keluar dan dengan segera memanggil sekretarisnya “Dina, kemari!” singkat, namun masih dipenuhi amarah. Dina, sekretaris kepercayaannya hanya bisa menelan ludahnya mendengar panggilan itu.

Tidak ada komentar: