Selasa, 15 Maret 2016

Belum ada Judul part 2

Rupanya sesuai perkataan Mbok Nem, sudah ada dua orang Polisi menunggunya di ruang tamu, sementara seorang lagi berdiri di beranda,dalam posisi yang sukar dia terjemahkan. Antara sedang bersiaga atau memang sekedar santai, sembari menikmati pemandangan di luar. Di halaman rumahnya memang tertata tanaman anggrek dan mawar yang sulurnya tertata apik, diselingi oleh sebuah pohon Bougenville ungu. Mendiang Ibu Danu memang penyuka anggrek, olehkarena itu dia selalu meminta Mbok Nem untuk merawat anggrek kesayangan Ibunya, agar kenangan tentang wanita yang selalu mendukungnya tidak pernah hilang dari ingatannya. Ketika Danu muncul, mereka berdua segera bangkit dari tempat duduknya, dan segera memperkenalkan diri mereka.

“Selamat Siang, Bapak Nicholas Danuwirya?!” kesan gagah dan tegas terasa dalam intonasinya. Danu melihat badge nama yang dia kenakan, Arifin Wijaya. Rupanya bukan sembarang orang yang dia temui hari ini, melihat lambang yang dikenakan di bahunya, ada perlu apa seorang Bripka datang kemari. Danu merasakan gesture tangan yang kasar saat menjabat tangannya, rupanya Polisi ini lebih menyukai pekerjaan yang membutuhkan aktifitas fisik.

                “Ya, benar. Saya sendiri. Panggil Danu saja, Pak.” jawab Danu “Silahkan duduk.” Danu mempersilahkan tamunya untuk duduk kembali, lalu berkata “ Ada keperluan apa siang hari ini sehingga bapak-bapak datang kemari?” ketika Danu merebahkan dirinya, dia membuat isyarat kepada Mbok Nem agar masuk ke dalam, dan menyajikan minuman kepada tamunya.

                “Begini, kami dari Satuan Reserse Kriminal, sebelumnya apakah Pak Danu kenal, dengan seseorang bernama Adi Perdana?”  Bripka Arifin mengatakan hal tersebut dengan kehati-hatian, dan menyuruh asistennya untuk mengeluarkan sebuah beda kecil terbungkus plastik dari tas hitam yang dibawanya. Danu menduga itu barang bukti, seperti yang sering dia tonton ditayangan televisi.
Bripka Arifin memperlihatkan kartu nama dengan noda merah di dalam kantong kecil tertutup rapat kepadanya. Sebuah kartu nama dengan tulisan ‘Adi Perdana’ dan logo perusahaan yang samar-samar dia kenali. Di samping tulisan nama pemilik kartu nama itu  ada catatan nomor telepon miliknya dengan tanda seru. Tidak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa noda itu darah yang menempel.  Bripka Arifin juga menyodorkan sebuah foto kepadanya, dengan harapan Danu mengenali wajah di dalam foto tersebut.

Melihat foto yang disodorkan kepadanya, Danu segera mengenali sosok tersebut, sesuai harapan Bripka Arifin, lelaki muda, perkiraannya berusia di awal tiga puluhan. Rambut sedikit gundul, tampak jelas dia baru satu atau dua hari lalu mencukurnya. Agak berbeda dari yang dia ingat, yang pasti Danu masih mengenali guratan di keningnya.  Namun, perbedaan yang besar, sebulan lalu dia bertemu dengan pria ini dalam keadaan masih hidup, bukan seperti di dalam foto.

                “Ya, saya kenal dengannya, Pak. Bahkan saya janji akan bertemu dengannya dua hari lagi di sini” Danu sedikit terkejut ketika melihatnya, dan mulai merasakan firasat tidak enak.

                “Adi Pradana ditemukan tewas terbunuh semalam di hotel yang dia singgahi.” usai mengatakan hal itu, Danu melihat kembali beberapa foto Adi Pradana yang sudah terbujur kaku dengan piama hotel di atas tempat tidurnya. Darah terlihat merembes dari punggungnya, dilihat dari lukanya dia terbunuh karena kehabisan darah.  “Adi Pradana tewas dengan luka tusukan di punggungnya.” usai Bripka Arifin mengatakan hal itu, Danu langsung membayangkan berapa banyak luka tusukan yang diterima lelaki muda itu hingga merenggang nyawa. “Apakah anda tahu mengapa dia ingin menemui Anda lusa nanti? Karena kami menemukan beberapa catatan yang menunjukan alamat serta nomor telepon anda.” Bripka Arifin mengambil kembali foto dan juga barang bukti yang dia perlihatkan, kemudian meminta asistennya memasukan kembali ke dalam tas yang mereka bawa.

                “Mas Adi bisa dikatakan konsumen saya. Dia memesan sebuah pahatan, pahatan Jenderal Guan Yu. Seharusnya bulan ini bisa saya selesaikan, namun saya belum berhasil menyelesaikannya.” Danu diam sejenak “dia mengontak saya, dan mengatakan akan melihatnya dulu sebagai bahan laporan ke atasannya.”

                “Apakah Anda tahu siapa atasan yang dia maksud?”

                Danu menggeleng, “Tidak. Dia tidak pernah mengatakannya.”

                Bripka Arifin meminta asistennya, untuk mencatat detail keterangan yang diberikan dalam kunjungan ini. “Tapi, apakah Anda mempunyai gambaran atau perkiraan tentang kepada siapa dia bekerja?”

                “Hmm, sama sekali tidak. Sejujurnya, saya tidak berminat tentang detail orang lain jika dia tidak mengungkapkannya sendiri. Bagi saya pribadi, bekerja tanpa diganggu urusan selain pekerjaan saya hanya buang-buang waktu.” Danu meringis

                Bripka Arifin hanya mengangguk, dia melihat sekeliling ruangan tamu, kemudian melanjutkan pertanyaannya “Semua pahatan di sini apakah Anda yang memahatnya?”

                “Oh, tidak semua. Sebagian besar mendiang Kakek, atau Kakek buyut saya yang memahatnya. Warisan dari generasi ke generasi. Sedikit. Hanya sedikit karya saya yang dipajang di sini.”

                “Hmm, mengenai pahatan Guan Yu yang dipesan, apakah yang bersangkutan tidak mengatakan apa-apa lagi kepada Anda?”

                “Dia hanya mengatakan, akan ada peresmian kantor cabangnya, dan atasannya meminta sebuah hiasan yang dapat dipajang di dalam ruangannya. Saya menyanggupinya, karena yah bayarannya juga sesuai,”

                “Anda katakan tadi, seharusnya pesanan tersebut diselesaikan bulan ini, dan Anda tidak dapat menyelesaikannya?”

                “Ya, anda sedikit masalah dengan pergelangan tangan saya bulan lalu, jadi pengerjaannya sempat tertunda”

                “Pertanyaan terakhir, ada di manakah Anda kemarin pada pukul  sembilan malam?” ada penekanan pada pertanyaan ini. Danu sadar Bripka Arifin ingin menanyakan alibinya pada saat kejadian.

                “Di rumah” jawab Danu, yang dia yakini masih terlalu lemah untuk menguatkan alibinya “saya sepanjang hari di rumah berada di dalam studio. Anda bisa menanyakan hal tersebut kepada asisten rumah tangga saya.” Danu menunjuk Mbok Nem yang terpogoh-pogoh datang membawa baki minuman.  Mbok Nem yang langsung ditunjuk tampak gugup, hampir saja dia  membuat air yang hendak dia tuangkan berceceran.

                “Benar, Bu? Apakah Bapak Danu berada di rumahnya kemarin malam?” Bripka Arifin kali ini bertanya pada wanita paruh baya yang berada di hadapannya.

                Sambil beringsut, Mbok Nem menjawabnya pertanyaan yang diajukannya dengan lancar “Benar, Pak. Den Danu sepanjang hari berada di studionya, baru setelah saya pindahin tivi ke sinteron anak kota yang ganteng itu pak, Den Danu baru muncul buat makan.” Danu berusaha tidak tertawa, namun perkataan si Mbok yang lugu memancing senyumnya. Asisten Bripka Arifin juga tersenyum simpul ketika mencatat keterangan yang diberikan oleh Mbok Nem.

                “Jadi, Anda berada di rumah ya,” Bripka Arifin mengangguk-angguk, seperti mereka-reka keterangan di dalam benaknya, lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada Danu yang sedang memperhatikannya “Maaf jika ini membuat Anda tidak nyaman, ini prosedur kami dalam menyelidiki suatu kasus. Semua kemungkinan harus diperhatikan.”

                “Ya, saya mengerti.” ucap Danu, sejujurnya ada rasa enggan berurusan dengan Polisi, apalagi dikaitkan dengan kasus yang berat seperti ini. Dia memang menyukai serial Sherlock, ataupun menyaksikan tayangan televise dengan berlatar belakang detektif pembunuhan, tapi mendapatai dirinya etrlibat di dalam kasus nata itu sangat jauh dari dugannya. Tidak lama setelah itu, para Polisi yang datang ke rumahnya undur diri. Sambil berterimakasih atas kerjasama yang kooperatif darinya, mereka mengatakan akan kembali jika ada keterangan yang masih dibutuhkan.

Danu mengantarkan mereka hingga depan rumahnya, matahari mulai beringsut ke arah barat,membuat bayangan semakin memanjang. Langit jingga, merahnya merona, tapi mengingatkann Danu akan merah darah yang dia lihat di foto Adi Perdana. Ketika tamunya sudah pergi dengan kendaraan dinasnya, Danu kembali ke dalam rumah sambil terdiam.

                “Anu, Den…” suara Mbok Nem mengejutkannya “Tamunya apa kembali lagi?”


                “Tidak tahu, Mbok. Mudah-mudahan nggak. Tapi…” Danu bingung, kali ini kepada siapa dia akan mengontak penanggung jawab pesanan Guan Yu yang dikerjakannya? Biasanya dia hanya saling berkirim pesan tentang pekerjaannya dengan Adi, namun dengan tewasnya dia, maka ada kemungkinan pesanan ini akan dibatalkan. Danu menghela nafas sambil berkacak pinggang, dia lupa untuk menanyakan detail perusahaan tempat Adi bekerja. Mau tidak mau dia harus pergi ke kantor polisi dan menanyakan beberapa hal guna kepentingan menyambung hidupnya sendiri. Keputusan yang tanpa disadarinya akan membawanya pergi jauh

Tidak ada komentar: