“Siang,
Pak Danu! Saya Daniel” seorang pria bertubuh agak gempal datang menuruni tangga dengan terpogoh-pogoh, rambutnya
mengkilap, bukan dengan keringat, melainkan gel rambut mahal yang nampak jelas
dia usapkan terlalu banyak. Danu dapat menciumnya dari radius sedekat ini
ketika dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Sudah lama menunggu,
Pak?” timpanya lagi, namun belum sempat Danu menjawab pertanyaannya, Daniel
sudah memotongnya kembali “Oh, ini pesananannya? Hmm….” Daniel tampak sedang
berpikir
“Iya,
ini pesanannya. Perlu saya letakan di mana?”
“Ini
semestinya dikirim ke cabang baru, namun sementara biar nanti saya minta orang
menyimpannya di warehouse. Oh, untuk
proses pembayaran nanti mohon ikut dulu saya ya, Pak. Sebentar…” Daniel berbincang
sejenak dengan resepsionist agar pahatan Guan Yu ini dapat disimpan sejenak di
tampatnya, sampai dia memanggil pesuruh untuk mengangkutnya kembali, setelah
selesai dia meminta Danu agar mengikutinya ke kantornya, di lantai dua “Mari, Pak”
Selama menaiki tangga, Daniel
banyak bercerita, kebanyakan tentang dirinya “Sebelumnya saya anak buah Pak
Adi. Sayang juga dia meninggal di usia masih muda” ujarnya
“Yah,
saya juga tidak mengira. Takdir Tuhan”
“Padahal
dia orang yang sangat menyenangkan, yah, Pak Adi memang sedikit cerewet seperti
marketing pada umumnya, tapi dia orang yang enak diajak bekerja sama”
“Ah,
saya mengerti itu “ timpal Danu sambil melihat sekelilingnya, dia melihat
sebuah ruangan besar dengan banyak orang duduk saling berhadapan dalam tiga
baris utama, tidak hanya itu ada beberapa ruangan yang bertuliskan divisi-divis
di perusahaan ini. Beberapa membaca kertas-kertas dokumen, ada yang sedang
berbicara dalam sambungan telepon –seperti saling bersahutan satu sama lain- ,
namun ada pula yang hilir mudik. Benar-benar kantor yang sangat ramai, penuh
dengan energi, ini sangat bertolak belakang dengan dirinya yang selalu terikat
dnegan ruangan studio pahatnya. Sendiri, hanya dia dan peralatan seninya. Dari ruangan bertuliskan ‘Direktur’ baru saja
keluar wanita berkacamata dan berbaju blazer merah maroon dengan wajah yang
sukar diartikan, apakah itu lega atau kesal, lalu dia duduk kembali di mejanya.
Sekretaris Direktur sepertinya.
Ruangan Daniel, yaitu divisi Marketing
Plan, hanya berisikan tiga meja kerja, dengan papan putih bertuliskan
rancangan-rancangan kerja bulanan, penuh catatan kecil bewarna warni ditempel
tidak beraturan. Di dinding yang terbuat dari papan duplek dia melihat aneka
berbagai macam foto kegiatan perusahaan. Ada beberapa foto Adi Perdana di sana,
lalu dekat dengan bekas mejanya ada setumpuk pigura yang diletakan di karton
bekas minuman plastik.
“Ah,
itu kepunyaan Pak Adi. Keluarganya belum ada yang mengambilnya jadi kami
letakan di sana” Daniel yang menyadari Danu yang sedang memandangi seksama ruangan
kerjanya menjelaskan dengan singkat, “Beberapa di antaranya hanya foto Pak Adi
sedang memancing. Dia gemar sekali memancing. Nah, Pak Danu, silahkan duduk. Ada
beberapa dokumen pencairan dana yang harus ditandatangani oleh Bapak”
Danu melihat rincian dokumen yang
diserahkan kepadanya, membacanya sekilas, memastikan jumlah nilainya sesuai
lalu mebubuhkan tanda tangannya.
“Jumlahnya
sesuai, Pak?” tanya Daniel padanya
Danu
menggangguk, “Ya, semua pas.”
“Berapa
lama Pak Danu ada di Jakarta? Saya berencana mengundang Bapak ke peresmian
kantor cabang yang baru”
“Tidak
lama, seminggu mungkin” jawab Danu “Sebenarnya, kantor cabang baru ini ada di
mana ya?”
“Oh,
ini untuk restoran Golden Lotus, salah satu anak usaha dari perusahaan kami. Di
daerah Alam Sutra”
“Perusahaan
ini merambah sektor kuliner juga rupanya. Restoran kuliner dengan masakan khas
oriental jika saya menebaknya?”
“Ya,
Anda benar. Lebih tepatnya jika istri direktur yang mengelolanya, tapi sampai
sekarang apa yang dia jalankan tidak pernah mengecewakan bagi komisaris
perusahaan ini, walau sedikit bernuansakan nepotism, tapi bagaimana lagi,
perusahaan ini awalanya adalah perusahaan keluarga”
“Saya
mengerti” Danu tersenyum mendengarnya “Ini, Pak Daniel sudah saya tandatangani”
dokumen pembayaran kini beralih tangan ke Daniel. Mereka berdua menoleh ketika ada
suara ketukan kecil di ruangan Daniel, dari wanita berblazer merah marun tadi
“Pak
Daniel, Ibu datang. Ada perlu dengan Bapak”
“Wah,
pas sekali. Baru saja pesanan Dia datang, terimakasih Mbak Dina, Saya akan ke
sana” wanita cantik bernama Dina itu kemudian berlalu, “Iya, Pak Danu. Sudah selesai,
dana akan dicairkan ke rekening Bapak paling lambat tujuh hari kerja” Daniel
merapikan dokumen tersebut, sambil sesekali melirik kea rah pintu. Mereka berdua
mendengar suara langkah kaki wanita dengan hak sepatu tinggi menuju ke ruangan
ini.
“Terimakasih,
Pak Daniel. Semoga kita bisa bekerjasama kembalii” ucap Danu seraya merapikan
kembali tas yang berisikan beberapa potong pakaian di dalamnya, jika langkah
kaki tersebut menuju kemari sepertinya akan ada tamu yang menemuinya. Danu
beranjak menuju pintu hendak keluar, sebelum pintu tersebut terbuka dan suara
wanita memanggil namanya, tidak melengking, tidak lembut, masih ada nada
memerintah namun sangat enak didengar
“Daniel!”
“Ah,
Iya Bu!” Daniel bergegas menyambut wanita tersebut, dan membukakan pintunya
lebih lebar agar dia dapat masuk dengan mudah.
Wangi
parfumnya lembut, Danu mengenali wangi ini seperti dia mengenali setiap jengkal
bagian tubuhnya. Sedikit ingatan berkelebat di dalam benaknya , seperti film
yang dimundurkan dengan sangat cepat. Rambut ikal sepanjang bahunya berjuntai
lembut di pundaknya, kulit tangannya yang bersih, tahi lalat di bibirnya masih
sama, bulu matanya yang lentik, dan mata sayunya menjadi satu paket yang
menggoda. Dia menatap wanita yang memasuki
ruangan tempatnya berada, dan sebuah kata meluncur begitu saja dari
mulutnya
“Miranda!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar