Terpisah sejauh 550 kilometer dari
tempat tinggalnya, Danu sedikit bingung bagaimana mereka berdua dapat duduk di kedai kopi di
kawasan perkantoran elit Sudirman saat ini. Pertemuannya dengan Miranda sangat
membuatnya terkejut, tapi itu juga salah satu kesalahannya tidak mencari
informasi lebih lanjut mengenai perusahaan ini. Seharusnya ketika dia melihat
logo di kartu nama Adi Perdana yang ditunjukan kepadanya, dia bisa mengingat
jelas di mana dia melihatnya. Kenapa dia bisa lupa dengan nama keluarga ‘Santoso’,
jika dia melihat kedua hal tersebut berbarengan pada karangan bunga ucapan yang
berjajar di sepanjang gedung pernikahannya tujuh tahun yang lalu?
Danu melihat Miranda dalam
balutan blazer kasual bewarna hitam,
tidak ada kerutan di wajahnya, tersamar dengan baik dalam balutan concealer. Sejak
dahulu Miranda memang pintar berdandan, hampir tidak ada kenangan tentangnya dalam
keadaan berantakan sama sekali. ‘Aku malu
Dan, kalau ketemu orang lain tanpa terlihat cantik’ ucapnya kala itu,
sejujurnya baik dengan make up ataupun tidak sama sekali, Miranda tetap
menawan.
“Sudah
lama ya…Dan” kata-kata keluar dari mulut perempuan yang duduk di hadapannya, memutus
tali kilasan masa lalu di alam bawah sadarnya
“Ya,
cukup lama” jawabnya singkat sembari mengaduk satu satchet gula ke dalam
kopinya, “Bagaimana kabarmu?”
“Baik”
Miranda mengangkat sedikit bahunya “Seperti
yang kamu lihat. Seperti ini sekarang diriku. Kalau kamu?”
Danu
tersenyum getir, “Baik” jawabnya dan mulai menyeruput kopi pesanannya perlahan,”Bisnis
baru?”
“Iya”
Miranda kali menatap Danu dengan seksama,”Aku mendengar apa yang terjadi pada
karyawan Henry. Dia terbunuh di kota tempat tinggalmu, bukan?”
“Ah,
kamu tahu juga tentang itu”
Miranda
mengangguk,”Aku memang menyuruhnya mencari berbagai macam dekorasi untuk
restoran yang akan dibuka lusa. Ternyata tidak kusangka, dia bakalan meminta
bantuanmu”
“Mungkin
seharusnya aku tolak saja waktu itu”
Miranda
tersentak,”Apa jika kamu tahu ini pesanan dariku, kamu akan melakukanya?”
“Entahlah”
Danu memalingkan wajahnya ke arah jendela, dia dapat melihat lalu lalang
kendaraan dari seberang jalan. Jakarta sudah banyak berubah, kali ini dia
melihat sebuah proyek berada di tengah jalanan kota ini, mereka berencana
membuat Light Rail Transit seperti
yang selalu diberitakan oleh media. Lalu lalang karyawan perkantoran daerah
sini mungkin yang selalu sama dari masa ke masa. “Aku juga tidak terlalu
menanyakan detail pemesannya pada Mas Adi saat itu. Mungkin jika aku tolak dia
masih hidup, dan tidak berakhir dengan cara seperti itu. Mungkin jika aku
tolak, aku juga tidak akan datang kembali ke Jakarta” kali ini Danu menatap
Miranda lagi “Banyak kemungkinan yang akan terjadi”
“
Sampai kapan kamu di sini, Dan?” tanya Miranda kepadanya
“Minggu
depan pulang” jawabnya singkat
“Lusa,
jika kau tidak keberatan, apa kamu mau datang ke pembukaan restoranku?” Miranda
bertanya dengan nada lirih, ada sedikit harapan dalam pertanyaan yang dia
ajukan. Bagaimanapun Danu masih mempunyai jangkar yang kuat dalam dirinya, dan
dia yakin Danu juga berpikir hal yang sama “Setidaknya, kamu bisa datang demi
pertemanan kita, Dan?”
Danu
menghela nafasnya, “Akan aku usahakan. Aku harus pergi sekarang, ada tempat
yang harus aku kunjungi” Danu berdiri diikuti Miranda yang bergegas mengambil
tas tangan miliknya, namun Danu menghentikan wanita tersebut dengan tangannya “Biar
aku yang bayar, Mir. Sampai jumpa”
Miranda Santoso hanya bisa
terdiam memandangi punggung Danu yang beranjak pergi, matanya mengikuti dengan
sedih langkah demi langkah pria tersebut berlalu dari hadapannya. Dia menggigit
bibirnya perlahan, kemudian duduk kembali di atas sofa café yang nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar