Rabu, 30 Maret 2016

Bab 4-3

Terpisah sejauh 550 kilometer dari tempat tinggalnya, Danu sedikit bingung bagaimana  mereka berdua dapat duduk di kedai kopi di kawasan perkantoran elit Sudirman saat ini. Pertemuannya dengan Miranda sangat membuatnya terkejut, tapi itu juga salah satu kesalahannya tidak mencari informasi lebih lanjut mengenai perusahaan ini. Seharusnya ketika dia melihat logo di kartu nama Adi Perdana yang ditunjukan kepadanya, dia bisa mengingat jelas di mana dia melihatnya. Kenapa dia bisa lupa dengan nama keluarga ‘Santoso’, jika dia melihat kedua hal tersebut berbarengan pada karangan bunga ucapan yang berjajar di sepanjang gedung pernikahannya tujuh tahun yang lalu?

Danu melihat Miranda dalam balutan blazer kasual  bewarna hitam, tidak ada kerutan di wajahnya, tersamar dengan baik dalam balutan concealer. Sejak dahulu Miranda memang pintar berdandan, hampir tidak ada kenangan tentangnya dalam keadaan berantakan sama sekali. ‘Aku malu Dan, kalau ketemu orang lain tanpa terlihat cantik’ ucapnya kala itu, sejujurnya baik dengan make up ataupun tidak sama sekali, Miranda tetap menawan.

                “Sudah lama ya…Dan” kata-kata keluar dari mulut perempuan yang duduk di hadapannya, memutus tali kilasan masa lalu di alam bawah sadarnya

                “Ya, cukup lama” jawabnya singkat sembari mengaduk satu satchet gula ke dalam kopinya, “Bagaimana kabarmu?”

                “Baik” Miranda mengangkat sedikit bahunya  “Seperti yang kamu lihat. Seperti ini sekarang diriku. Kalau kamu?”

                Danu tersenyum getir, “Baik” jawabnya dan mulai menyeruput kopi pesanannya perlahan,”Bisnis baru?”

                “Iya” Miranda kali menatap Danu dengan seksama,”Aku mendengar apa yang terjadi pada karyawan Henry. Dia terbunuh di kota tempat tinggalmu, bukan?”

                “Ah, kamu tahu juga tentang itu”

                Miranda mengangguk,”Aku memang menyuruhnya mencari berbagai macam dekorasi untuk restoran yang akan dibuka lusa. Ternyata tidak kusangka, dia bakalan meminta bantuanmu”

                “Mungkin seharusnya aku tolak saja waktu itu”

                Miranda tersentak,”Apa jika kamu tahu ini pesanan dariku, kamu akan melakukanya?”

                “Entahlah” Danu memalingkan wajahnya ke arah jendela, dia dapat melihat lalu lalang kendaraan dari seberang jalan. Jakarta sudah banyak berubah, kali ini dia melihat sebuah proyek berada di tengah jalanan kota ini, mereka berencana membuat Light Rail Transit seperti yang selalu diberitakan oleh media. Lalu lalang karyawan perkantoran daerah sini mungkin yang selalu sama dari masa ke masa. “Aku juga tidak terlalu menanyakan detail pemesannya pada Mas Adi saat itu. Mungkin jika aku tolak dia masih hidup, dan tidak berakhir dengan cara seperti itu. Mungkin jika aku tolak, aku juga tidak akan datang kembali ke Jakarta” kali ini Danu menatap Miranda lagi “Banyak kemungkinan yang akan terjadi”

                “ Sampai kapan kamu di sini, Dan?” tanya Miranda kepadanya

                “Minggu depan pulang” jawabnya singkat

                “Lusa, jika kau tidak keberatan, apa kamu mau datang ke pembukaan restoranku?” Miranda bertanya dengan nada lirih, ada sedikit harapan dalam pertanyaan yang dia ajukan. Bagaimanapun Danu masih mempunyai jangkar yang kuat dalam dirinya, dan dia yakin Danu juga berpikir hal yang sama “Setidaknya, kamu bisa datang demi pertemanan kita, Dan?”

                Danu menghela nafasnya, “Akan aku usahakan. Aku harus pergi sekarang, ada tempat yang harus aku kunjungi” Danu berdiri diikuti Miranda yang bergegas mengambil tas tangan miliknya, namun Danu menghentikan wanita tersebut dengan tangannya “Biar aku yang bayar, Mir. Sampai jumpa”

Miranda Santoso hanya bisa terdiam memandangi punggung Danu yang beranjak pergi, matanya mengikuti dengan sedih langkah demi langkah pria tersebut berlalu dari hadapannya. Dia menggigit bibirnya perlahan, kemudian duduk kembali di atas sofa café yang nyaman.  


Tidak ada komentar: