Kamis, 31 Maret 2016

Bab 5

Bab 5

Danu membuka pintu pagar yang sudah berkarat –dan terlihat jelas tidak dirawat oleh pemilik rumah ini- hingga menimbulkan bunyi gesekan besi yang nyaring, perlu usaha besar untuk menutupnya kembali tanpa menimbulkan kegaduhan bagi tetangga di depannya. Rumah ini berada di tikungan jalan, dan rumah sebelah kanan walaupun kosong tapi masih menjadi satu bagian dari rumah ini. Dia sudah kembali pulang ke tempat yang sudah lama dia tinggalkan. Masih tetap sama, bahkan cat rumahnya yang bewarna cream tua kini bercampur dengan banyak noda. Entah noda debu jalanan, atau cipratan lumpur, bisa jadi keduanya yang membuatnya lebih bewarna cokelat. Danu duduk sebentar di beranda depan rumah, melihat sekelilingnya, dua mobil city car dengan persneling otomatis terparkir berjajar, berarti pemiliknya sudah ada di rumah, jam tangan di lengannya memang sudah menunjukan hampir jam delapan malam, dan benar saja pintu belakang di dekat garasi terbuka menampakan sosok perempuan yang sudah lama tidak dia temui

                “Mas Danu?” tanya suara tersebut dengan hati-hati, di baliknya tampak seorang gadis kecil berkucir kuda melihat dengan takut-takut. Danu beranjak dan mendekati mereka dengan tersenyum

                “Iya. Aku pulang” setelah Danu menjawab panggilan itu nampak perasaan lega terpancar dari wajah itu, ada sedikit genangan air mata terlihat di pelupuk matanya dan dengan segera dia usap.  Adiknya memang sensitif, hal yang membuatnya terharu selalu saja membuatnya meneteskan air mata. Dulu saat mereka masih kecil, dia sempat khawatir apakah adiknya akan mudah dipermainkan orang atau tidak. Untunglah dia menemukan pria yang tepat ketika dewasa. Danu kemudian berjongkok dan menatap gadis kecil yang bersembunyi di balik badan ibunya “Coba Paman tebak, pasti kamu Rosa?”

Gadis kecil itu mengangguk, dan segera menyembunyikan wajahnya kembali sambil terkikik di balik badan ibunya. “Ayo masuk, Mas. Di luar banyak nyamuk. Aku juga baru pulang, baru dari klinik” Danu mengiyakan, dan mengikutinya masuk ke rumah.

Suasana temaram, sejak dahulu ayahnya tidak menyukai cahaya lampu neon yang bewarna putih, silau alasannya. Meja makan tampak berantakan, sejauh dia ingat dulu Ibunya selalu menata rapih setiap letak peralatan makan. Mulai dari sendok, garpu, pisau makan, piring hingga detail tisu makan yang akan digunakan. ‘Seseorang bisa dilihat derajatnya dari tata cara dia makan, Dan’ begitulah prinsip Ibu mereka. “Sepi sekali, pada kemana?’

                “Oh, Mas Agung sedang dinas keluar kemarin. Mungkin baru minggu depan pulang. Dia titip salam, katanya maaf tidak bisa menjemput Mas Danu. Papa belum pulang, malam banget mungkin dia baru sampai. Mas mau minum?”

                “Ambilkan air putih, Nit. Daritadi kerongkonganku gatal”

Nita menuangkan segelas air putih untuk kakaknya, dan mengambil beberapa biskuit dari dalam wadah plastik penyimpan makanan untuk anaknya. Danu menegak air putih yang diberikan untuknya seperti berbulan-bulan tidak minum, “Leganya. Iya, ini kunjungan mendadak, bilang ke Agung jangan dipikirkan, toh aku juga baru memberi kabar kemarin padamu”

                “Mas Danu baru banget datang berarti? Sudah makan?”

                “Seperti biasa kamu selalu begitu, seperti Mama. Sebenarnya sudah dari siang tadi aku sampai di Jakarta. Tapi harus mengantar pesanan, lalu..” Danu terdiam dan kembali berbicara “tadi sempat mampir ke makam Mama” perasaan sedih kembali menyergapnya, namun dia alihkan dengan mengajak si kecil Rosa bermain sementara ibunya sedang mengeluarkan makanan cepat saji dari dalam lemari pendingin. Sebuah wajan penggorengan sudah dipanaskan dengan minyak di dalamnya,

                “ Sudah lama Mas Danu nggak pulang. Kali ini lama kan?”

                “Yah, seminggu kayaknya, lusa ada acara yang akan aku hadiri”

                “Acara apa, Mas?”

                “Pembukaan restoran. Restoran Golden Lotus…..” Danu masih memikirkan beberapa kalimat yang sesuai, karena dia tidak tahu bagaimana reaksi adiknya ketika mendengarnya “Restoran baru, milik Miranda..Miranda Santoso”

                Nita mengerenyit, “Miranda? Miranda yang itu?”

                “Menurutmu siapa lagi, Nit?”


Pembicaraan mereka terhenti karena bunyi pagar rumah yang berderit keras diiringi suara deru mobil yang masuk ke dalam garasi. Rosa, si kecil, langsung bergegas menuju pintu dan menyambut siapa yang datang. Tidak perlu seorang peramal hebat, karena Danu sendiri tahu itu pasti ayahnya yang baru saja pulang. 

Rabu, 30 Maret 2016

Bab 4-3

Terpisah sejauh 550 kilometer dari tempat tinggalnya, Danu sedikit bingung bagaimana  mereka berdua dapat duduk di kedai kopi di kawasan perkantoran elit Sudirman saat ini. Pertemuannya dengan Miranda sangat membuatnya terkejut, tapi itu juga salah satu kesalahannya tidak mencari informasi lebih lanjut mengenai perusahaan ini. Seharusnya ketika dia melihat logo di kartu nama Adi Perdana yang ditunjukan kepadanya, dia bisa mengingat jelas di mana dia melihatnya. Kenapa dia bisa lupa dengan nama keluarga ‘Santoso’, jika dia melihat kedua hal tersebut berbarengan pada karangan bunga ucapan yang berjajar di sepanjang gedung pernikahannya tujuh tahun yang lalu?

Danu melihat Miranda dalam balutan blazer kasual  bewarna hitam, tidak ada kerutan di wajahnya, tersamar dengan baik dalam balutan concealer. Sejak dahulu Miranda memang pintar berdandan, hampir tidak ada kenangan tentangnya dalam keadaan berantakan sama sekali. ‘Aku malu Dan, kalau ketemu orang lain tanpa terlihat cantik’ ucapnya kala itu, sejujurnya baik dengan make up ataupun tidak sama sekali, Miranda tetap menawan.

                “Sudah lama ya…Dan” kata-kata keluar dari mulut perempuan yang duduk di hadapannya, memutus tali kilasan masa lalu di alam bawah sadarnya

                “Ya, cukup lama” jawabnya singkat sembari mengaduk satu satchet gula ke dalam kopinya, “Bagaimana kabarmu?”

                “Baik” Miranda mengangkat sedikit bahunya  “Seperti yang kamu lihat. Seperti ini sekarang diriku. Kalau kamu?”

                Danu tersenyum getir, “Baik” jawabnya dan mulai menyeruput kopi pesanannya perlahan,”Bisnis baru?”

                “Iya” Miranda kali menatap Danu dengan seksama,”Aku mendengar apa yang terjadi pada karyawan Henry. Dia terbunuh di kota tempat tinggalmu, bukan?”

                “Ah, kamu tahu juga tentang itu”

                Miranda mengangguk,”Aku memang menyuruhnya mencari berbagai macam dekorasi untuk restoran yang akan dibuka lusa. Ternyata tidak kusangka, dia bakalan meminta bantuanmu”

                “Mungkin seharusnya aku tolak saja waktu itu”

                Miranda tersentak,”Apa jika kamu tahu ini pesanan dariku, kamu akan melakukanya?”

                “Entahlah” Danu memalingkan wajahnya ke arah jendela, dia dapat melihat lalu lalang kendaraan dari seberang jalan. Jakarta sudah banyak berubah, kali ini dia melihat sebuah proyek berada di tengah jalanan kota ini, mereka berencana membuat Light Rail Transit seperti yang selalu diberitakan oleh media. Lalu lalang karyawan perkantoran daerah sini mungkin yang selalu sama dari masa ke masa. “Aku juga tidak terlalu menanyakan detail pemesannya pada Mas Adi saat itu. Mungkin jika aku tolak dia masih hidup, dan tidak berakhir dengan cara seperti itu. Mungkin jika aku tolak, aku juga tidak akan datang kembali ke Jakarta” kali ini Danu menatap Miranda lagi “Banyak kemungkinan yang akan terjadi”

                “ Sampai kapan kamu di sini, Dan?” tanya Miranda kepadanya

                “Minggu depan pulang” jawabnya singkat

                “Lusa, jika kau tidak keberatan, apa kamu mau datang ke pembukaan restoranku?” Miranda bertanya dengan nada lirih, ada sedikit harapan dalam pertanyaan yang dia ajukan. Bagaimanapun Danu masih mempunyai jangkar yang kuat dalam dirinya, dan dia yakin Danu juga berpikir hal yang sama “Setidaknya, kamu bisa datang demi pertemanan kita, Dan?”

                Danu menghela nafasnya, “Akan aku usahakan. Aku harus pergi sekarang, ada tempat yang harus aku kunjungi” Danu berdiri diikuti Miranda yang bergegas mengambil tas tangan miliknya, namun Danu menghentikan wanita tersebut dengan tangannya “Biar aku yang bayar, Mir. Sampai jumpa”

Miranda Santoso hanya bisa terdiam memandangi punggung Danu yang beranjak pergi, matanya mengikuti dengan sedih langkah demi langkah pria tersebut berlalu dari hadapannya. Dia menggigit bibirnya perlahan, kemudian duduk kembali di atas sofa cafĂ© yang nyaman.  


Senin, 28 Maret 2016

Bab 4 - 2

Prabu tidak membantah, maupun mengiyakan ucapan atasannya. Jika atasannya mengatakan ada kejanggalan di TKP, pastilah ada alasannya, akhirnya dia memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan, yang mungkin sifatnya retoris belaka, “Maksud, Bapak?”

Bripka Arifin menunjuk arah pintu, “Pintu tidak didobrak paksa, tidak ada tanda-tanda pengrusakan, artinya korban mengenal pelaku. Bisa jadi korban sendiri yang mengajaknya masuk, atau mereka sudah janji bertemu. Lalu..” kali ini Bripka Arifin mengasosiasikan dirinya dengan korban untuk mereka kejadian yang menurut dia terjadi pada malam pembunuhan, “Jika kamu menerima tamu, apa yang kamu lakukan?”

                “Saya akan membuka pintunya, melihat siapa yang datang, lalu mempersilahkannya masuk”

                “Betul sekali. Pasti ketika dia melihat tamu yang datang, dia akan menyuruhnya masuk, tepat di sini…” Bripka Arifin kini berada di sisi tempat korban ditemukan tewas, telunjuknya digerakan tanpa henti “Di sini dia mungkin berbincang dengan pelaku selama beberapa saat. Kemungkinan dia berbalik, di saat itu pelaku menjeratnya dengan tali. Lihat ini” Bripka Arifin berjongkok pada sisi tempat tidur dari kayu “kamu lihat itu?”

Prabu memincingkan matanya, berusaha mendapatkan imej yang ditunjuk oleh atasannya, samar-samar ada sedikit bagian yang mengelupas seperti garis tipis. Panjangnya tidak rata, tapi ini goresan yang dilakukan dengan sekuat tenaga. Kayu tempat tidur ini tidak mudah tergurat kecuali ada tekanan pada lapisannya  “Ada..sedikit guratan. Bekas cakaran”

                “Mungkin itu dari cakaran kuku korban yang berusaha melepaskan diri.” Bripka Arifin berdiri lalu menepuk-nepuk bagian belakang celananya “ Karena korban berontak, pelaku lalu menusuknya dengan cepat dengan maksud melumpuhkan dia” paparnya sambil mengusap ujung hidungnya “Luka cekik biasanya didapat akibat dendam bersifat pribadi. Pelaku pasti sudah lama menyimpan dendam pada korban. Motifnya harus sangat kuat, sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidup korban dan menikmati perbuatannya sampai nyawa korban melayang.”

                “Apakah pelaku kalah tenaga dari korban, sehingga perlu menusuknya?”

                “Kemungkinan itu ada. Lalu bagaimana dengan hasil forensik mengenai waktu kematian korban?”

                “Dari kekakuan tubuhnya, korban diperkirakan telah meniggal dua jam sebelum ditemukan. Artinya, sekitar pukul sepuluh malam sebelum penjaga penginapan menemukannya”

Bripka Arifin mengangguk, jam sepuluh malam. Namun, Sofyan sendiri mengatakan tidak ada yang berkunjung malam itu kecuali paangan selingkuh yang tidak sengaja terlibat dalam kasus ini. Pergantian shift dia dengan saudaranya pada pukul delapan, apakah mungkin ada jeda di saat itu dan digunakan pelaku untuk menyusup masuk? “Prabu, kita perlu meminta keterangan dari penjaga penginapan satunya lagi. Rukmini. Jika pintu masuk penginapan ini hanya ada satu, maka kita perlu mendapatkan keterangannya apakah dia yakin tidak melihat seseorang menyelinap ketika pergantian waktu jaga?”

                “Ibu Rukmini saat ini ada di penginapan, Pak. Apa kita akan meminta kesaksiannya sekarang?”

                “Ya, segera kita minta kesaksiannya”

Mereka menuruni tangga dan menuju meja penerima tamu. Tampak wanita paruh baya, usianya sekitar tiga puluhan, dia mengenakan kemeja cokelat bermotif bunga dipadukan dengan rok terusan bewarna cokelat muda. Sesuai dengan kemeja yang dia pakai saat itu. Setelah Prabu mengatakan padanya bahwa mereka perlu meminta keterangan darinya, raut wajahnya berubah. Dia mengiikuti kedua polisi itu duduk di sofa tua yang ada di dekat meja penerima tamu.

                “Ibu Rukmini,” papar Bripka Arifin hati-hati, “Apakah betul anda bertukar waktu jaga dengan Sofyan pada pukul delapan malam?”

                “Iya, Pak” jawabnya pelan

                “Saat korban ditemukan tewas, apakah anda juga berganti jaga di waktu yang sama?”

                “Hampir setiap hari seperti itu, Pak. Kadang-kadang saya menemaninya sampai jam sembilan malam, waktu Bapak Adi meninggal juga saya baru istirahat jam segitu”

                “Apakah tidak ada orang yang mencurigakan saat itu?”

                “Tidak ada, Pak. Saya pulang setelah suami saya menjemput dari tempat kerjanya.”

                “Dia tidak satu tempat dengan Ibu?”


                “Tidak, Pak. Suami saya jualan di Pasar, biasanya malam setelah dagangannya cukup laris banyak, dia tutup tokonya jam delapan, lalu jemput saya. Jujur Pak, setelah kasus ini saya bingung penginapan saya akan bagaimana kelanjutannya” kali ini Rukmini hanya bisa berkata miris, kasus pembunuhan di penginapannya akan membuat tempat ini sulit mendapatkan tamu “Besok malam saya akan adakan pengajian di sini, supaya nggak ada kejadian aneh lagi di sini” ujarnya lirih seraya mengakhiri sesi introgasi padanya

Sabtu, 26 Maret 2016

Bab 4

Bab 4

Bripka Arifin terdiam di tengah ruangan tempat korban Adi Perdana tewas, dia kembali datang ke TKP – Tempat Kejadian Perkara- karena ada beberapa hal yang ingin dia pastikan.  Masih sama seperti mereka tinggalkan. Garis polisi masih melintang, tidak mengizinkan siapa pun selain yang berkepentingan masuk ke dalamnya, gambar kapur penanda tubuh korban ditemukan juga masih ada. Kipas angin, meja, vas bunga, masih lengkap. Tadi pagi dia baru saja menerima beberapa hasil dari tim forensik, ada yang meleset dari perkiraan awalnya. Korban tidak mati karena kehabisan darah, namun ada bekas jeratan di lehernya. Jeratan tipis, seperti menggunakan benang halus, dia perkirakan itu seperti alat pancing. Ini menarik, untuk apa pelaku menusuk korban? Yang paling penting senjata pembunuhnya belum ditemukan, atau ini hanya kamuflase untuk mengecoh polisi?

Awalnya dia menaruh kecurigaan pada pasangan tidak sah yang terpergok di saat yang bersamaan. Tidak ada yang namanya kebetulan, itu adalah asumsi dia. Namun, setelah penyidikan panjang dan melelahkan malam itu, mereka berdua lepas dari tuduhan pembunuhan tingkat satu. Ruangan penyidik riuh saat anak buahnya mengintrograsi mereka, ketika kedua keluarga pasangan itu datang ke kantor mereka saling adu mulut, bukannya mendapatkan informasi penting, yang ada menambah beban pekerjaan satuannya. Mereka harus melerai pasangan selingkuh itu dari cakaran dan juga adu jotos pasangan resminya masing-masing.

                “Lapor, pak!”anak buahnya datang bersama dengan penjaga penginapan yang pernah dia tanyai sebelumnya, Sofyan “saya sudah memanggil saksi seperti yang Bapak perintahkan!”

                “Ng, anu..ada apa ya, Pak?” Sofyan bertanya padanya, nadanya terdengar takut

                “Selain Mas ASofyan, siapa lagi yang  menjadi penjaga di penginapan ini?”

                “Kalau pagi ada kakak perempuan saya, Rukmini. Saya biasanya bertukar jaga jam delapan malam, soalnya saya harus kerja di bengkel motor dekat terminal bayangan situ, Pak”

                “Saat itu, selain korban, apakah ada tamu yang menginap?”

Sofyan berusaha mengingat sesuatu, “Ada, Pak” jawabnya “Tapi, jam sebelas siang sudah keluar dari penginapan. Jadi ya.. hanya Bapak Adi yang menginap saat itu”

                “Ada pengunjung yang datang menemuinya?”

                “Tidak ada, Pak. Pak Adi datang dua hari sebelum dia meninggal, biasanya selalu keluar siang hari dan baru kembali menjelang maghrib. Saya pernah tanya, katanya ada bisnis di sini. Jadi tidak ada tamu yang datang berkunjung”

                “Pintu masuk ke penginapan ini, apakah hanya ada satu?”

                “I..iya, Pak. Dari ruangan depan saja.”

Bripka Arifin melihat sejenak keluar jendela, lalu membuka pintu kamar dan melihat sekelilingnya. Ada tembok setinggi satu meter di samping kiri penginapan itu, tidak bagus karena mengarah ke jalan raya. Mudah saja menaiki tembok tersebut karena tingginya hanya satu meter. Ada beberapa gundukan batu, dan juga pohon jambu melintang ke tepian trotoar, keduanya bisa saja digunakan oleh pelaku untuk melarikan diri. “Prabu, minta anjing pelacak, dan juga tim forensik memeriksa ulang bagian kiri bangunan ini. Sisir sepanjang trotoar dan jalan ini. Siapa tahu kita menemukan petunjuk yang terlewat malam itu”

                “Baik, Pak!”

                “Mas Sofyan, nanti kami akan meminta bantuan anda kembali. Sekarang anda boleh pergi” ucap BRipka Arifin seraya masuk kembali ke dalam kamar. Sambil berkacak pinggang dia masih memandangi suasana kamar. Udara masih panas, musim kemarau panjang dan juga letak geografis dekat laut menjadikan kota ini selalu bersuhu tinggi

                “Terimakasih, Pak” Sofyan buru-buru keluar ruangan setelah dia diizinkan pergi, meninggalkan kedua petugas kepolisian itu di tengah keheningan.


                Jeda panjang itu kemudian dipecahkan oleh ucapan Bripka Arifin “Ini aneh sekali Prabu, aneh sekali” 

Kamis, 24 Maret 2016

Bab 3 -3

                “Siang, Pak Danu! Saya Daniel” seorang pria bertubuh agak gempal  datang menuruni tangga dengan terpogoh-pogoh, rambutnya mengkilap, bukan dengan keringat, melainkan gel rambut mahal yang nampak jelas dia usapkan terlalu banyak. Danu dapat menciumnya dari radius sedekat ini ketika dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Sudah lama menunggu, Pak?” timpanya lagi, namun belum sempat Danu menjawab pertanyaannya, Daniel sudah memotongnya kembali “Oh, ini pesananannya? Hmm….” Daniel tampak sedang berpikir

                “Iya, ini pesanannya. Perlu saya letakan di mana?”

                “Ini semestinya dikirim ke cabang baru, namun sementara biar nanti saya minta orang menyimpannya di warehouse. Oh, untuk proses pembayaran nanti mohon ikut dulu saya ya, Pak. Sebentar…” Daniel berbincang sejenak dengan resepsionist agar pahatan Guan Yu ini dapat disimpan sejenak di tampatnya, sampai dia memanggil pesuruh untuk mengangkutnya kembali, setelah selesai dia meminta Danu agar mengikutinya ke kantornya, di lantai dua  “Mari, Pak”

Selama menaiki tangga, Daniel banyak bercerita, kebanyakan tentang dirinya “Sebelumnya saya anak buah Pak Adi. Sayang juga dia meninggal di usia masih muda” ujarnya

                “Yah, saya juga tidak mengira. Takdir Tuhan”

                “Padahal dia orang yang sangat menyenangkan, yah, Pak Adi memang sedikit cerewet seperti marketing pada umumnya, tapi dia orang yang enak diajak bekerja sama”

                “Ah, saya mengerti itu “ timpal Danu sambil melihat sekelilingnya, dia melihat sebuah ruangan besar dengan banyak orang duduk saling berhadapan dalam tiga baris utama, tidak hanya itu ada beberapa ruangan yang bertuliskan divisi-divis di perusahaan ini. Beberapa membaca kertas-kertas dokumen, ada yang sedang berbicara dalam sambungan telepon –seperti saling bersahutan satu sama lain- , namun ada pula yang hilir mudik. Benar-benar kantor yang sangat ramai, penuh dengan energi, ini sangat bertolak belakang dengan dirinya yang selalu terikat dnegan ruangan studio pahatnya. Sendiri, hanya dia dan peralatan seninya.  Dari ruangan bertuliskan ‘Direktur’ baru saja keluar wanita berkacamata dan berbaju blazer merah maroon dengan wajah yang sukar diartikan, apakah itu lega atau kesal, lalu dia duduk kembali di mejanya. Sekretaris Direktur sepertinya.

Ruangan Daniel, yaitu divisi Marketing Plan, hanya berisikan tiga meja kerja, dengan papan putih bertuliskan rancangan-rancangan kerja bulanan, penuh catatan kecil bewarna warni ditempel tidak beraturan. Di dinding yang terbuat dari papan duplek dia melihat aneka berbagai macam foto kegiatan perusahaan. Ada beberapa foto Adi Perdana di sana, lalu dekat dengan bekas mejanya ada setumpuk pigura yang diletakan di karton bekas minuman plastik.

                “Ah, itu kepunyaan Pak Adi. Keluarganya belum ada yang mengambilnya jadi kami letakan di sana” Daniel yang menyadari Danu yang sedang memandangi seksama ruangan kerjanya menjelaskan dengan singkat, “Beberapa di antaranya hanya foto Pak Adi sedang memancing. Dia gemar sekali memancing. Nah, Pak Danu, silahkan duduk. Ada beberapa dokumen pencairan dana yang harus ditandatangani oleh Bapak”

Danu melihat rincian dokumen yang diserahkan kepadanya, membacanya sekilas, memastikan jumlah nilainya sesuai lalu mebubuhkan tanda tangannya.

                “Jumlahnya sesuai, Pak?” tanya Daniel padanya

                Danu menggangguk, “Ya, semua pas.”

                “Berapa lama Pak Danu ada di Jakarta? Saya berencana mengundang Bapak ke peresmian kantor cabang yang baru”

                “Tidak lama, seminggu mungkin” jawab Danu “Sebenarnya, kantor cabang baru ini ada di mana ya?”

                “Oh, ini untuk restoran Golden Lotus, salah satu anak usaha dari perusahaan kami. Di daerah Alam Sutra”

                “Perusahaan ini merambah sektor kuliner juga rupanya. Restoran kuliner dengan masakan khas oriental jika saya menebaknya?”

                “Ya, Anda benar. Lebih tepatnya jika istri direktur yang mengelolanya, tapi sampai sekarang apa yang dia jalankan tidak pernah mengecewakan bagi komisaris perusahaan ini, walau sedikit bernuansakan nepotism, tapi bagaimana lagi, perusahaan ini awalanya adalah perusahaan keluarga”

                “Saya mengerti” Danu tersenyum mendengarnya “Ini, Pak Daniel sudah saya tandatangani” dokumen pembayaran kini beralih tangan ke Daniel. Mereka berdua menoleh ketika ada suara ketukan kecil di ruangan Daniel, dari wanita berblazer merah marun tadi

                “Pak Daniel, Ibu datang. Ada perlu dengan Bapak”

                “Wah, pas sekali. Baru saja pesanan Dia datang, terimakasih Mbak Dina, Saya akan ke sana” wanita cantik bernama Dina itu kemudian berlalu, “Iya, Pak Danu. Sudah selesai, dana akan dicairkan ke rekening Bapak paling lambat tujuh hari kerja” Daniel merapikan dokumen tersebut, sambil sesekali melirik kea rah pintu. Mereka berdua mendengar suara langkah kaki wanita dengan hak sepatu tinggi menuju ke ruangan ini.

                “Terimakasih, Pak Daniel. Semoga kita bisa bekerjasama kembalii” ucap Danu seraya merapikan kembali tas yang berisikan beberapa potong pakaian di dalamnya, jika langkah kaki tersebut menuju kemari sepertinya akan ada tamu yang menemuinya. Danu beranjak menuju pintu hendak keluar, sebelum pintu tersebut terbuka dan suara wanita memanggil namanya, tidak melengking, tidak lembut, masih ada nada memerintah namun sangat enak didengar

                “Daniel!”

                “Ah, Iya Bu!” Daniel bergegas menyambut wanita tersebut, dan membukakan pintunya lebih lebar agar dia dapat masuk dengan mudah.

                Wangi parfumnya lembut, Danu mengenali wangi ini seperti dia mengenali setiap jengkal bagian tubuhnya. Sedikit ingatan berkelebat di dalam benaknya , seperti film yang dimundurkan dengan sangat cepat. Rambut ikal sepanjang bahunya berjuntai lembut di pundaknya, kulit tangannya yang bersih, tahi lalat di bibirnya masih sama, bulu matanya yang lentik, dan mata sayunya menjadi satu paket yang menggoda. Dia menatap wanita yang memasuki  ruangan tempatnya berada, dan sebuah kata meluncur begitu saja dari mulutnya


                “Miranda!” 

Rabu, 23 Maret 2016

Bab 3 - 2

Dengan perlahan Danu menurunkan pahatan Guan Yu yang dia kemas dalam kotak kayu dari dalam taksi yang dia tumpangi dibantu oleh supir, pahatan ini tidak ringan, apalagi dia menggunakan kayu jati sebagai bahan dasarnya. Sudah hampir seminggu ini tenaganya bak terkuras hingga ke titik terendah, mengangkat beban seberat ini benar-benar melelahkannya, beruntung dia masih bisa mengejar penerbangan ke Jakarta subuh tadi. Benar seperti yang dikatakan Mbok Nem, dia memaksakan diri menyelesaikan pahatan ini dalam waktu singkat, bukannya tanpa alasan, pahatan ini bagaikan hutang pekerjaan apalagi pemesannya sudah tidak ada. Danu lebih baik menyelesaikan pahatan ini secepat mungkin – dan untungnya proses finishing terasa tidak ada hambatan – daripada harus dihantui oleh pesanan yang belum rampung.

Danu menatap bangunan di hadapannya, sebuah kantor yang terdiri dari tiga lantai bercatkan warna terracotta, beberapa catnya mengelupas di bagian sisi temboknya, mungkin karena faktor cuaca. Di depan gerbang dia melihat sebuah papan nama bertuliskan PT GLOBAL JAYA, lengkap dengan detail logonya.Lokasinya mudah dicari, apalagi dia juga pernah tinggal di kota ini cukup lama, walaupun ketika mencari lokasinya dia harus memutar jauh di daerah Sarinah karena supir taksi yang ditumpanginya salah belok. Setelah mengucapkan terimakasih, dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk membayar ongkos perjalanannya, Danu menyampirkan tasnya dan segera  menuju pos satpam

                “Siang, Pak! Ada yang bisa saya bantu?” tanya  Satpam berkepala cepak itu padanya.

                “Saya mau bertemu Bapak Daniel. Saya mengantarkan pesanannya. Maksudnya pesanan Almarhum Bapak Adi sebelum dia meninggal”

                “Oh, tunggu sebentar” Satpam itu masuk ke dalam posnya, dna tidak lama kemudian keluar sembari membawa tanda pengenal bertuliskan ‘Guest’ dan menyerahkannya kepada Danu “Silahkan Bapak masuk ke dalam, di sana ada front office nanti Bapak isi buku tamu, dan dia akan mmebantu Bapak bertemu Pak Daniel”

                “Terimakasih” Danu berkata seraya mengenakan kartu tanda pengenalnya di saku jaketnya, udara Jakrta memang panas, tapi jaket ini selalu setia menemani dia ketika berpergian “kalau boleh, apakah ada yang bisa membantu saya membawa ini, Pak?” Danu kemudian menunjuk boks kayu yang ada di samping kakinya

                “Isinya?” kali ini Satpam dengan sedikit curiga menatap boks kayu tersebut, dengan hati-hati dia menyentuhnya

                “Pahatan” jawab Danu dengan tenang,  semenjak serangan terror beberapa bulan lalu, penjagaan di Jakarta semakin ketat rupanya

                Satpam itu menggangguk, lalu dia memanggil seornag laki-laki kecil dengan baju biru muda bertulisakan Office Boy agar membantu Danu. “Wan, hoi Riswan! Sini! Bantu” teriaknya sambil membuat gerakan mendorong dengan tangannya. Riswan sang pesuruh kantor itu dengan sigap pergi ke belakang bangunan, tidak lama sebuah trolley barang sudah ada dan mengangkut Guan Yu dari permukaan tanah

                “Silahkan lewat sini Pak”  ucap Riswan dengan logat Betawinya yang bercampur aksen Sunda pada Danu. Seelah menaiki beberapa undakan, Danu hendak membukakan pintu agar Riswan dapat dengan mudah memasuki kantor, tapi upaya itu tidak jadi dia lakukan karena pintu utama PT Global Jaya sudah dibukakan oleh seorang gadis dengan mata memerah yang kemudian berlalu.


                “Itu Harshita, anak Pak Direktur” bisik Riswan pada Danu, “Sudah biasa, Pak” ujarnya lagi, “Nah, di sebelah sini” Riswan meletakan trolleynya di samping meja penerima tamu, dan berkata pada resepsionistnya bahwa Danu hendak bertemu Pak Daniel setelah itu dia pergi kembali melakukan pekerjaan utamanya. Setelah diberikan penjelasan singkat, dan menitipkan kartu tanda penduduknya di meja penerima tamu, Danu kemudian duduk di ruang tunggu. Semoga tidak lama, masih ada tempat yang akan dia kunjungi setelah ini selain makam Ibundanya.

Selasa, 22 Maret 2016

Belum Ada Judul: Bab 3

Bab 3

Henry Santoso membolak balik semua laporan yang dia terima, ada setumpuk dokumen yang harus dia periksa, belum lagi sekretarisnya baru saja membawakan perjanjian jual beli dengan supplier perdagangan dari Korea Selatan. Kacamata baca yang dia kenakan sedikit melorot seiring pandangannya menatap angka-angka yang tertera di dalam dokumen, beberapa komoditi mengalami kenaikan harga, sedangkan penjualan perusahaannya stagnan dalam triwulan pertama. Artinya ada beberapa hal yang akan dia efisiensikan, kantor cabang baru yang akan dibuka dalam hitungan hari ke depan menjadi salah satu harapannya mendongkrak keuntungan bagi perusahaanya. Tidak mudah untuk terus bertahan dalam persaingan dunia ritel, banyaknya saingan usaha sejenis membuat perusahaannya harus terus menerus melakukan hal yang baru setiap bulannya guna menarik konsumen. Sebenarnya itu pekerjaan Divisi Marketing, dia membayar mahal mereka untuk memikirkan strategi pengembangan dan promosi bisnis perusahaannya, tapi kabar kematian kepala divisi Adi Perdana membuatnya runyam.

Dua hari setelah kematiannnya, dia terus dihubungi oleh pihak berwajib sekedar dimintai keterangan. “Apakah Bapak Adi benar melakukan kunjungan ke luar kota?” tentunya bagian personalia lebih mengetahui hal itu, dan dia hanya menjawab sebatas informasi yang dia peroleh dari para bawahannya. Sejujurnya dia tidak selalu tahu apa saja kegiatan mereka, toh sudah ada bagian yang mengurusinya, yang penting kinerja dan pendapatan perusahaan yang baru dia warisi lima tahun ini selalu baik.  Istrinya selalu bersikukuh agar membuka cabang di kawasan perniagaan baru dekat Alam Sutra, “Ada mall besar baru di sana, Pih. Prestise banget. Kita harus buka cabang di sana” dan dia tidak akan berhenti meminta hingga rengekannya dikabulkan. Dia hapal betul bagaimana sifat wanita itu. Setelah lobi panjang, negoisasi harga, hingga perencanaan detail bangunan, akhirnya dia meneken kontrak dengan pihak pengelola, namun kali ini dia membiarkan istrinya mengelola salah satu cabang perusahaannya di bidang kuliner. Walaupun istrinya tipe wanita yang manja, wanita itu punya insting bisnis yang bagus, lebih bagus dari dirinya. Dia pula yang membantunya meraih posisi aman sebagai direksi PT Global Jaya. Cantik tapi menakutkan, namun disitulah daya tariknya.

Bunyi intercom telepon menyela kesibukan tangan Henry, dengan sigap dia meraih telepon di atas mejanya, “Ya, ada apa, Dina?!” jawabnya pendek, lebih cenderung terburu-buru.

“Maaf, Pak. Anak anda ada di luar ingin bertemu, saya sudah bilang anda tidak bisa diganggu” jawab sekretarisnya, dengan sedikit ragu Dina melanjutkan pertanyaannya lagi, “Apa saya perlu menyuruhnya agar kembali lagi nanti?” dia tahu jika bosnya tidak dalam suasana hati yang baik, dengan sedikit keteguhan hati dia sudah siap jika semprotan omelan akan dia terima siang itu.
Terdengar suara Henry yang menghela nafas, “Suruh masuk saja” mungkin karena sederet pekerjaan yang belum selesai dan keletihan yang menumpuk dia butuh sedikit istirahat, walaupun kedatangan Harshita, anaknya belum tentu akan menenangkan pikiran dia.

Pelan, pintu ruangannya dibuka. Harshita masuk dengan langkah gontai, rambut panjangnya dia biarkan terurai, tote bag putih gading yang dia kenakan langsung dia lemparkan ke arah sofa di ruangan ayahnya, raut wajahnya kusut, sekusut kain sofa yang kini dia duduki. Henry memperhatikan tingkah anak gadisnya, “Kenapa lagi kamu?” akhirnya dia melontarkan pertanyaan yang sering dia tanyakan untuk memecah keheningan. Jawabannya sudah dapat diprediksi olehnya, dia hanya sekedar basa basi.

Tidak ada jawaban. Harshita mengacuhkan pertanyaan ayahnya, jemarinya sibuk memainkan ponsel pintar yang dia bawa dengan wajah ditekuk. “Jika tidak ada urusan, pulang sekarang juga. Kantor papa bukan tempat anak manja berkeluh kesah” kesabaran Henry sedang tidak bisa ditawar saat ini, tidak ada waktu untuk meladeni anak gadisnya yang merajuk. Kembali dia kenakan kacamatanya, dan mulai menghitung angka-angka dan mengetiknya kembali di komputer kerjanya.

Harshita merengut, dia sadar tidak ada gunanya membuat ayahnya kesal saat ini, “Biasa” jawabnya lirih tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel pintarnya.

Henry menghentikan kembali pekerjaannya, “Ibumu lagi?”

                “Dia bukan Ibuku, Pah” dengus Harshita dengan marah

                “Sudah berkali-kali papa katakan, jika hanya ribut urusan rumah tidak usah kamu bawa ke sini.”

                “ Kenapa Sita tidak boleh ikut serta dalam perencanaan usaha cabang yang baru, Pa? Apa karena Sita masih muda?” suara Harshita meninggi

                “ Ini lagi! Kita sudah membahasnya di rumah, Sita”

Harshita bangkit dari sofa cokelat yang nyaman, sambil melipat tangannya dia mencoba memberikan penjelasan yang masuk akal kepada ayahnya, “Pah, umurku sudah dua puluh dua, sudah banyak belajar, bahkan tinggal setahun lagi Sita lulus program magister. Semua untuk membantu Papa, tapi kenapa Sita tidak diberikan kesempatan untuk itu?”

                “Jika kamu ingin belajar, belajar dari Ibumu. Lebih baik, sekarang juga kamu pulang ke rumah” tukas Henry tanpa memalingkan wajahnya, dia tidak menyadari ekspressi putrinya yang kini geram.

                “Pah, ini tidak adil. Berikan Sita satu kesempatan saja!” alih-alih membujuk, Harshita mengeraskan suaranya. Dia tahu di luar ruangan ini semua orang dapat mendengar apa yang dia katakan, tapi dia tidak peduli. “Sudah cukup Sita melihat, ini juga perusahaan Kakek, Sita berhak ikut andil dalam pengembangannya”

                Tidak tahan dengan sikap putrinya yang semakin melewati batas, Henry menggebrak meja kerjanya, “Cukup!” hardiknya kini,  dengan tergesa-gesa dia mendekati putrinya kemudian berbisik tepat dihadapannya dengan intonasi yang tegas “Jangan lupa, berkat dia, Papa berhasil seperti ini. Berkat wanita yang menjadi ibumu sekarang, perusahaan kakekmu ini selamat! Camkan itu!” perkataan ini membuat putrinya terdiam dan tidak mampu menjawab. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun dengan segera Harshita mengusapnya, berusaha tidak terlihat lemah.

                “ Jika kamu sudah mengerti, lebih baik kamu sekarang kembali ke rumah”


Tanpa diminta dua kali, Harshita segera mengambil tasnya dan keluar ruangan itu dengan hati yang kesal. Dibantingnya pintu ruangan ayahnya, membuat seluruh karyawan di lantai itu terdiam. Setelah Harshita pergi, Henry Santoso keluar dan dengan segera memanggil sekretarisnya “Dina, kemari!” singkat, namun masih dipenuhi amarah. Dina, sekretaris kepercayaannya hanya bisa menelan ludahnya mendengar panggilan itu.

Kamis, 17 Maret 2016

Bab 2 ( part 2 - Hari ke 4)

Dengan pikiran menerawang, berusaha mengingat dan mereka tempat kejadian perkara di dalam kepalanya,  jemari Bripka Arifin mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja kerjanya, dia selalu melakukan kebiasaan ini jika sedang berpikir keras. Di depannya terdapat dua surat kabar harian lokal, keduanya mempunyai headline yang nyaris sama ‘Pembunuhan Di Hotel’ satunya lagi malah lebih ekstrem ’Malam Berdarah di Hotel Melati : Polisi Belum Menemukan Titik Terang”. Orang awam mengira setelah mengumpulkan sidik jari mulai DNA, hingga pelaku dapat langsung ditemukan. Kenyataannya tidak semudah itu, segala bukti forensik diserahkan kepada bagian DVI untuk dianalisa, dan tidak seperti tayangan serial detektif di televisi yang  dapat terinci dalam waktu hitungan jam. Butuh waktu, dan bisa berhari-hari menemukan kecocokan DNA dengan nyaris dua ratus juta penduduk di negara ini.

Setelah meminta keterangan dari pemahat yang akan ditemui oleh korban, dia yakin  korban datang ke kota ini dalam rangka kunjungan bisnis, berkaitan dengan pahatan yang dipesan perusahaannya. Uang dan barang beharga korban hilang, apakah kasus ini murni perampokan disertai pembunuhan? Kesimpulan ini masih terlalu dangkal, apalagi  ada poin yang tidak sesuai dengan bukti di tempat kejadian. Dia berdiri menuju papan putih tempat dia menuliskan detail urutan kejadian, melihat rentetan waktu dengan seksama, konsentrasinya buyar ketika anak buahnya mendadak masuk ke dalam ruangan

                “Lapor! Maaf, Pak! Di penerima tamu ada Bapak Danuwirya datang. Dia bilang ingin menanyakan beberapa informasi.”

                “Danu, pemahat itu? Informasi?  Coba kita tanyakan apa yang ingin dia ketahui.” Bripka Arifin menutup pelan pintu dan keluar dari ruangannya.

Tidak lama, Danu mendapati dirinya tengah berbincang dengan Bripka Arifin di selasar kantor polisi yang tidak terlalu banyak orang berlalu lalang. Dia sengaja datang  menjelang makan siang, agar tidak terlalu ramai, dan urusannya cepat selesai.

                “Perusahaan – PT -  Global Jaya “ Bripka Arifin menyerahkan secarik kertas berisi nama perusahaan serta alamat kantor Adi Perdana bekerja , Danu menerimanya dengan hati-hati agar kertas tersebut tidak lecek saat dia pegang, dan memasukannya ke dalam lipatan dompet. “Terimakasih sebelumnya. Jadi..apa ada perkembangan terbaru, Pak?”

                “ Kami sedang menganalisa barang bukti, jika sudah mencukupi akan kami ungkap ke publik. Alamatnya di Jakarta, apa Anda akan datang ke sana?”  tanya Bripka Arifin padanya

                “Yah, saya akan menanyakan dulu kelanjutan pesanan korban.” Danu tertawa kecil “Masalah lembaran rupiah memang mendesak untuk ditanyakan. Saya harap mereka tidak membatalkannya. Terimakasih informasinya, saya permisi dulu kalau begitu ”

                “Ah, ya benar juga. Pasti harganya tidak murah. Semoga berhasil”

Danu berjalan pelan ke arah parkiran motor, tadi dia meninggalkan motor bebeknya di bawah pohon rindang, dari dulu dia bukan termasuk orang yang gemar berjalan-jalan di bawah terik matahari. Olehkarena itu memahat merupakan pekerjaan ideal baginya, berada di ruangan seharian, walau kadang dia hanya menggunakan pahat kuku selama satu jam saja, dan sisanya lebih banyak dia gunakan untuk membuat sketsa kasar. Mbok Nem selalu menggerutu apabila banyak kertas berserakan di halam rumah jika dia sudah larut dengan dunianya. Dia meronggoh dompetnya, sambil menunggu matahari tertutup awan, ada baiknya dia menelepon kantor Adi Perdana, toh hari ini dia cukup senggang karena janji bertemu dengannya batal sudah.

Dikeluarkannya kertas yang diberikan Bripka Arifin, Danu membaca nomor telepon yang tertera dalam goresan tinta hitam pekat hingga beberapa bagian tinta merembes ke balik kertas, sementara tangan kirinya menekan keypad ponsel pintar. Bripka Arifin, tidak seperti penampilannya yang terlihat tenang rupanya orang yang sangat berkomitemen tinggi. Suara nada sambung terdengar, Danu menunggu sembari menyandarkan badannya, membagi rasa lelah dengan tumpuan berat badannya. Setelah beberapa saat, suara manis membalas panggilan teleponnya dengan ramah

                “ PT Global Jaya, may I assist you?”  dari jawaban tersebut, Danu menduga ini adalah perusahan multinasional yang sering berhubungan dengan orang asing.

                “Ya, saya Danuwirya, saya pemahat yang diminta almarhum Adi Perdana.” Danu memikirkan kembali kalimat apa yang tepat ia gunakan untuk menanyakan maksudnya “begini, saya tahu Bapak Adi sudah meninggal, saya hanya ingin menanyakan kelanjutan pesanan yang pesan. Saya harus berbicara dengan siapa?”

                “Sebentar, Bapak. Akan saya beri nada sambung, harap menunggu”

                “Baik, saya tunggu” Danu menghela nafas kembali, untunglah tidak lama kemudian dia mendengar seseorang berbicara di seberang sambungan teleponnya. Seorang laki-laki, dengan suara yang meledak-ledak.

                “Selamat siang, Bapak Danu. Saya Daniel, pengganti almarhum Adi. Begini, Pak, kami tetap melanjutkannya, namun apakah bisa pesanan tersebut selesai sebelum akhir bulan ini? Karena ada persemian kantor cabang, dan kami membutuhkannya segera.”

Kabar itu yang sudah Danu tunggu sejak tadi, “Ya, tidak masalah. Pahatannya sudah hampir selesai, tinggal saya finishing. Harus saya antarkan ke mana?”

                “Ke alamat kantor kami, di Jakarta, Pak. Bapak sudah tahu alamatnya?”

                Danu melihat kembali catatannya, “Sudah. Saya akan menghubungi anda jika sudah siap dikirim. Terimakasih”


                “Baik, Pak Danu.  Sama-sama. Kami tunggu pesananya” dan sambungan telepon pun berakhir sampai di situ. Masalah  kelangsungan perut Danu sudah mendapatkan kepastian, kali ini dia harus konsentrasi dengan pahatan Guan Yu yang belum rampung. Danu menengadah ke arah langit, awan belum juga menutupi matahari, bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda mendung sedikitpun.  Dia pun menyerah dan mengambil helm full face bewarna hitam dengan tulisan ‘INK’ dan mengenakannya, setelah ini dia akan mampir ke toko langganannya untuk membeli polintur serta tiner. 

Rabu, 16 Maret 2016

Belum Ada Judul: Bab 2 (Part 3)

Bab 2

Bripka Arifin menerima kabar pembunuhan Adi Perdana sesaat setelah dia sampai di rumah. Malam itu dia ada acara dengan beberapa orang anak buahnya, dan baru kembali setelah hari larut. Sebuah kasus pembunuhan sangat tidak biasa, bahkan jika bisa dia urutkan, sepanjang karirnya di kota ini kasus pembunuhan jarang terjadi,atau bahkan dalam ingatannya hanya ada tiga kasus yang berkaitan dengan nyawa pernah dia tangani. Selebihnya hanya kasus pencurian, pertikaian keluarga, perkelahian antar kampung, atau orang hilang.

Di kota dengan penduduk yang bisa dikatakan lugu dan polos, tradisi menghormati orang yang disegani masih terjaga kokoh, jika ada pendatang atau pelancong mampir di kota ini, bisa dipastikan dia akan mendapatkan perlakuan seperti raja. Dia teringat pada masa awal tugasnya ditempatkan di kota ini, semua orang menyeganinya,bahkan menganggap jika dia lewat seolah-olah Bupati sedang  ikut serta. Lambat laun -dan butuh perjuangan ekstra- akhirnya dia mampu menepis kesan tersebut, bukankah tugas seorang  Abdi Negara untuk menjadi pengayom warganya? Jika warganya segan, maka dengan cara apa dia akan merangkul kesatuannya? Maka ketika kabar pembunuhan Adi Perdana hinggap di layar ponselnya, dia secepat mungkin pergi menuju lokasi kejadian. Ini kota kecil, kabar sekecil apapun dapat menyebar dengan cepat, apalagi peristiwa besar semacam ini? Walau malam dingin mencekam, hal itu tidak mengoyahkan semangatnya untuk bertugas, jika insting polisinya benar, maka kasus ini bukan kasus biasa.

Hotel tempat korban ditemukan tewas tidak mewah, di kota ini hanya ada tiga hotel, itupun hanya kelas melati. Di parkiran depan ada dua buah mobil salah satunya berasal dari luar daerah sini, mungkin mobil korban. Bripka Arifini masuk menuju  loby penerima tamu, dikatakan loby hanya sebuah meja cokelat dengan tinggi satu meter dan telepon yang sudah memudar warnanya. Kursi-kursi dengan model tua, busa sofanya sudah mulai terlihat dan mencuat keluar di berbagai sisi.

                “Lapor!” suara anak buahnya memecah keheningan saat dia datang, masih dengan pakaian tugas lengkap, pastilah dia yang saat itu piket malam. Adrenalin memompa semangatnya, siapapun yang mendapati kasus besar di tengah malam jelas akan berapi-api. Tangannya yang memberi gerakan hormat singkat dia turunkan kembali, “Kejadiannya ada di dalam, Pak! Kamar dua belas”

                “Jelaskan situasinya, singkat dan jelas!” seru Bripka Arifin kepada anak buahnya, lalu dia mengikuti arah yang diberikan, menuju kamar dua belas. Hotel ini, mungkin lebih tepat jika disebut losmen, memiliki dua puluh tiga kamar. Kamar nomor dua belas yang disebutkan tadi berada di lantai dua bangunan baru, terpisah oleh taman kecil dari bangunan utama. Mudah menemukannya, karena berada di dekat tangga, dan sedang dikerubungi oleh beberapa petugas.

                “Korban ditemukan tewas oleh petugas hotel yang akan mengantarkan tamu untuk menginap. Itu mereka” Bripka Arifin melihat kepada orang yang disebut sebagai saksi. Dia mendengarkan kesaksian mereka. Karyawan hotel seorang laki-laki berusia awal dua puluh tahun, dan pasangan yang gelisah ditanyai oleh petugas.

                “Bapak dan Ibu ini akan menginap di kamar nomor sebelas, di samping kamar Bapak Adi, Pak. Sa..saya lihat pintu kamar ini terbuka, tapi keadaan gelap.”

                “Lalu?” Bripka Arifin kali ini membantu anak buahnya meminta keterangan dari saksi “Apa yang kamu lihat, Mas….. hmm..” sambil membalik-balikan catatan keterangan yang dipegangnya, berusaha mencari data nama para saksinya “ Mas Sofyan?”

                “Karena gelap, saya panggil bapaknya. Waktu itu pintunya sedikit terbuka, tapi, nda dijawab-jawab. Padahal Pak Adi baru keluar besok siang. Ketika saya buka lebih lebar, saya nyalakan itu lampunya. Lalu Pak Adi di sana berdarah, Pak Polisi”  tunjuk Sofyan padanya.

                “Lalu Bapak, dan Ibu ini?” liriknya tajam pada pasangan yang salah tingkah di hadapannya “Saya asumsikan, Bapak dan Ibu kemari untuk sekedar menepis lelah, benar?” ada penekanan di kalimat terkahir yang ditujukan kepada pasangan tersebut.

                “I..I..Iya sih, Pak. Tapi bu..bukan kami, Pak. Sumpah.” kali ini sang lelaki berbicara terbata-bata. “Ka..kami, cuma teman, Pak”
                Bripka Arifin tidak meneruskannya kembali, “Silahkan Bapak, dan Ibu nanti ikut anak buah saya yang akan mendata identitas diri, dan juga..” belum selesai Bripka Arifin berbicara, kali ini pasangan wanitanya yang menyela
                “Pak, bisa kita anggap ini tidak ada apa-apa? Bisa gawat kalau ketahuan orang rumah.”

                “Bu, justru lebih gawat lagi jika kami tidak mengklarifikasi keterangan kalian berdua dari sekarang. Mungkin saja Ibu dan Bapak adalah pelakunya? Maka silahkan ikuti anak buah saya untuk dimintai keterangannya. “penjelasan itu membuat kedua pasangan tidak sah yang sedang bernasib sial itu menunduk lesu. Sudah bisa dibayangkan kejadian yang akan membuntuti mereka setelah malam ini.

Bripka Arifin lalu memasuki kamar tempat korban menginap. Kamar dengan satu tempat tidur, dan kamar mandi di dalam itu lembab. Bau sprai bercampur kapur barus lebih mendominasi dibandingkan harum pewangi ruangan yang ditempatkan di tepi teralis jendela. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di pintu, artinya korban membiarkan pelaku masuk. Perlahan dia mendekati jasad yang terbujur kaku di atas tempat tidur. Masih mengenakan piama, Bripka Arifin melihat sekelilingnya lagi dan menanyai Sofyan yang tidak diizinkan untuk pergi “Mas Sofyan, piama ini” dia menunjuk piama korban berwarna putih dengan noda darah “apa fasilitas penginapan?”

                “Anu, bukan, Pak. Di sini tidak ada baju ganti, mau pinjam peralatan mandi pun harus menghubungi saya dulu baru dikasi”

                Mendengar hal itu, Bripka Arifin mengangguk. Artinya korban memang membawa piama ini, atau seseorang yang mengenakannya. Dengan telunjuk yang digoyangkannya perlahan, dia meminta salah seorang anak buahnya mendekat, “Prabu, coba kamu buka piama korban. Kita lihat lukanya.”

                “Siap, Pak!” menggunakan plastik untuk melapisi tangannya.  dengan cekatan Prabu membuka piama korban. “Ada lima tusukan. Belum dapat dipastikan kedalaman tusukannya. Tapi dari darah yang berceceran, dan suhu tubuhnya korban dipastikan meninggal lebih dari dua jam yang lalu. Tampaknya karena kehabisan darah, Pak”

                “Ada barang bukti lain yang sudah ditemukan?”

                “Tadi kami melihat beberapa catatan di meja kecil dekat kasur. Ada hitungan, mungkin pembelian barang karena jumlahnya lebih dari enam digit, sebuah dompet dengan kartu identitas, dan kartu nama.”

                “Uang dan barang berharga lainnya?”

                “Tidak ada, Pak. Hanya tanda pengenal, dan kartu nama. Ini dia” Prabu menyerahkan temuan barang bukti kepada atasannya.


                “Kerja bagus.”  puji Bripka Arifin, dia memang menyukai sistem kerja yang efisien, analisa cepat dan ringkas, sehingga dia dapat mengambil langkah penyelidikan dari beberapa hipotesis yang sudah terkumpul. Sambil melihat tumpukan kartu nama, dia memilahnya dan membacanya dengan cermat. Korban sangat sering bepergian rupanya, ada tiket pesawat yang masih tersimpan, beberapa kartu nama dengan perusahaan-perusahaan dari berbagai daerah, dan satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah kartu nama yang terjatuh di dekat kaki korban. Dia mengambilnya, rupanya itu kartu nama korban, namun ada catatan singkat dengan nomor telepon di belakangnya. Nicholas Danuwirya.

Selasa, 15 Maret 2016

Belum ada Judul part 2

Rupanya sesuai perkataan Mbok Nem, sudah ada dua orang Polisi menunggunya di ruang tamu, sementara seorang lagi berdiri di beranda,dalam posisi yang sukar dia terjemahkan. Antara sedang bersiaga atau memang sekedar santai, sembari menikmati pemandangan di luar. Di halaman rumahnya memang tertata tanaman anggrek dan mawar yang sulurnya tertata apik, diselingi oleh sebuah pohon Bougenville ungu. Mendiang Ibu Danu memang penyuka anggrek, olehkarena itu dia selalu meminta Mbok Nem untuk merawat anggrek kesayangan Ibunya, agar kenangan tentang wanita yang selalu mendukungnya tidak pernah hilang dari ingatannya. Ketika Danu muncul, mereka berdua segera bangkit dari tempat duduknya, dan segera memperkenalkan diri mereka.

“Selamat Siang, Bapak Nicholas Danuwirya?!” kesan gagah dan tegas terasa dalam intonasinya. Danu melihat badge nama yang dia kenakan, Arifin Wijaya. Rupanya bukan sembarang orang yang dia temui hari ini, melihat lambang yang dikenakan di bahunya, ada perlu apa seorang Bripka datang kemari. Danu merasakan gesture tangan yang kasar saat menjabat tangannya, rupanya Polisi ini lebih menyukai pekerjaan yang membutuhkan aktifitas fisik.

                “Ya, benar. Saya sendiri. Panggil Danu saja, Pak.” jawab Danu “Silahkan duduk.” Danu mempersilahkan tamunya untuk duduk kembali, lalu berkata “ Ada keperluan apa siang hari ini sehingga bapak-bapak datang kemari?” ketika Danu merebahkan dirinya, dia membuat isyarat kepada Mbok Nem agar masuk ke dalam, dan menyajikan minuman kepada tamunya.

                “Begini, kami dari Satuan Reserse Kriminal, sebelumnya apakah Pak Danu kenal, dengan seseorang bernama Adi Perdana?”  Bripka Arifin mengatakan hal tersebut dengan kehati-hatian, dan menyuruh asistennya untuk mengeluarkan sebuah beda kecil terbungkus plastik dari tas hitam yang dibawanya. Danu menduga itu barang bukti, seperti yang sering dia tonton ditayangan televisi.
Bripka Arifin memperlihatkan kartu nama dengan noda merah di dalam kantong kecil tertutup rapat kepadanya. Sebuah kartu nama dengan tulisan ‘Adi Perdana’ dan logo perusahaan yang samar-samar dia kenali. Di samping tulisan nama pemilik kartu nama itu  ada catatan nomor telepon miliknya dengan tanda seru. Tidak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa noda itu darah yang menempel.  Bripka Arifin juga menyodorkan sebuah foto kepadanya, dengan harapan Danu mengenali wajah di dalam foto tersebut.

Melihat foto yang disodorkan kepadanya, Danu segera mengenali sosok tersebut, sesuai harapan Bripka Arifin, lelaki muda, perkiraannya berusia di awal tiga puluhan. Rambut sedikit gundul, tampak jelas dia baru satu atau dua hari lalu mencukurnya. Agak berbeda dari yang dia ingat, yang pasti Danu masih mengenali guratan di keningnya.  Namun, perbedaan yang besar, sebulan lalu dia bertemu dengan pria ini dalam keadaan masih hidup, bukan seperti di dalam foto.

                “Ya, saya kenal dengannya, Pak. Bahkan saya janji akan bertemu dengannya dua hari lagi di sini” Danu sedikit terkejut ketika melihatnya, dan mulai merasakan firasat tidak enak.

                “Adi Pradana ditemukan tewas terbunuh semalam di hotel yang dia singgahi.” usai mengatakan hal itu, Danu melihat kembali beberapa foto Adi Pradana yang sudah terbujur kaku dengan piama hotel di atas tempat tidurnya. Darah terlihat merembes dari punggungnya, dilihat dari lukanya dia terbunuh karena kehabisan darah.  “Adi Pradana tewas dengan luka tusukan di punggungnya.” usai Bripka Arifin mengatakan hal itu, Danu langsung membayangkan berapa banyak luka tusukan yang diterima lelaki muda itu hingga merenggang nyawa. “Apakah anda tahu mengapa dia ingin menemui Anda lusa nanti? Karena kami menemukan beberapa catatan yang menunjukan alamat serta nomor telepon anda.” Bripka Arifin mengambil kembali foto dan juga barang bukti yang dia perlihatkan, kemudian meminta asistennya memasukan kembali ke dalam tas yang mereka bawa.

                “Mas Adi bisa dikatakan konsumen saya. Dia memesan sebuah pahatan, pahatan Jenderal Guan Yu. Seharusnya bulan ini bisa saya selesaikan, namun saya belum berhasil menyelesaikannya.” Danu diam sejenak “dia mengontak saya, dan mengatakan akan melihatnya dulu sebagai bahan laporan ke atasannya.”

                “Apakah Anda tahu siapa atasan yang dia maksud?”

                Danu menggeleng, “Tidak. Dia tidak pernah mengatakannya.”

                Bripka Arifin meminta asistennya, untuk mencatat detail keterangan yang diberikan dalam kunjungan ini. “Tapi, apakah Anda mempunyai gambaran atau perkiraan tentang kepada siapa dia bekerja?”

                “Hmm, sama sekali tidak. Sejujurnya, saya tidak berminat tentang detail orang lain jika dia tidak mengungkapkannya sendiri. Bagi saya pribadi, bekerja tanpa diganggu urusan selain pekerjaan saya hanya buang-buang waktu.” Danu meringis

                Bripka Arifin hanya mengangguk, dia melihat sekeliling ruangan tamu, kemudian melanjutkan pertanyaannya “Semua pahatan di sini apakah Anda yang memahatnya?”

                “Oh, tidak semua. Sebagian besar mendiang Kakek, atau Kakek buyut saya yang memahatnya. Warisan dari generasi ke generasi. Sedikit. Hanya sedikit karya saya yang dipajang di sini.”

                “Hmm, mengenai pahatan Guan Yu yang dipesan, apakah yang bersangkutan tidak mengatakan apa-apa lagi kepada Anda?”

                “Dia hanya mengatakan, akan ada peresmian kantor cabangnya, dan atasannya meminta sebuah hiasan yang dapat dipajang di dalam ruangannya. Saya menyanggupinya, karena yah bayarannya juga sesuai,”

                “Anda katakan tadi, seharusnya pesanan tersebut diselesaikan bulan ini, dan Anda tidak dapat menyelesaikannya?”

                “Ya, anda sedikit masalah dengan pergelangan tangan saya bulan lalu, jadi pengerjaannya sempat tertunda”

                “Pertanyaan terakhir, ada di manakah Anda kemarin pada pukul  sembilan malam?” ada penekanan pada pertanyaan ini. Danu sadar Bripka Arifin ingin menanyakan alibinya pada saat kejadian.

                “Di rumah” jawab Danu, yang dia yakini masih terlalu lemah untuk menguatkan alibinya “saya sepanjang hari di rumah berada di dalam studio. Anda bisa menanyakan hal tersebut kepada asisten rumah tangga saya.” Danu menunjuk Mbok Nem yang terpogoh-pogoh datang membawa baki minuman.  Mbok Nem yang langsung ditunjuk tampak gugup, hampir saja dia  membuat air yang hendak dia tuangkan berceceran.

                “Benar, Bu? Apakah Bapak Danu berada di rumahnya kemarin malam?” Bripka Arifin kali ini bertanya pada wanita paruh baya yang berada di hadapannya.

                Sambil beringsut, Mbok Nem menjawabnya pertanyaan yang diajukannya dengan lancar “Benar, Pak. Den Danu sepanjang hari berada di studionya, baru setelah saya pindahin tivi ke sinteron anak kota yang ganteng itu pak, Den Danu baru muncul buat makan.” Danu berusaha tidak tertawa, namun perkataan si Mbok yang lugu memancing senyumnya. Asisten Bripka Arifin juga tersenyum simpul ketika mencatat keterangan yang diberikan oleh Mbok Nem.

                “Jadi, Anda berada di rumah ya,” Bripka Arifin mengangguk-angguk, seperti mereka-reka keterangan di dalam benaknya, lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada Danu yang sedang memperhatikannya “Maaf jika ini membuat Anda tidak nyaman, ini prosedur kami dalam menyelidiki suatu kasus. Semua kemungkinan harus diperhatikan.”

                “Ya, saya mengerti.” ucap Danu, sejujurnya ada rasa enggan berurusan dengan Polisi, apalagi dikaitkan dengan kasus yang berat seperti ini. Dia memang menyukai serial Sherlock, ataupun menyaksikan tayangan televise dengan berlatar belakang detektif pembunuhan, tapi mendapatai dirinya etrlibat di dalam kasus nata itu sangat jauh dari dugannya. Tidak lama setelah itu, para Polisi yang datang ke rumahnya undur diri. Sambil berterimakasih atas kerjasama yang kooperatif darinya, mereka mengatakan akan kembali jika ada keterangan yang masih dibutuhkan.

Danu mengantarkan mereka hingga depan rumahnya, matahari mulai beringsut ke arah barat,membuat bayangan semakin memanjang. Langit jingga, merahnya merona, tapi mengingatkann Danu akan merah darah yang dia lihat di foto Adi Perdana. Ketika tamunya sudah pergi dengan kendaraan dinasnya, Danu kembali ke dalam rumah sambil terdiam.

                “Anu, Den…” suara Mbok Nem mengejutkannya “Tamunya apa kembali lagi?”


                “Tidak tahu, Mbok. Mudah-mudahan nggak. Tapi…” Danu bingung, kali ini kepada siapa dia akan mengontak penanggung jawab pesanan Guan Yu yang dikerjakannya? Biasanya dia hanya saling berkirim pesan tentang pekerjaannya dengan Adi, namun dengan tewasnya dia, maka ada kemungkinan pesanan ini akan dibatalkan. Danu menghela nafas sambil berkacak pinggang, dia lupa untuk menanyakan detail perusahaan tempat Adi bekerja. Mau tidak mau dia harus pergi ke kantor polisi dan menanyakan beberapa hal guna kepentingan menyambung hidupnya sendiri. Keputusan yang tanpa disadarinya akan membawanya pergi jauh

Senin, 14 Maret 2016

belum ada judul

Bab 1

Suara pahatan kayu bergema dari dalam studio yang hanya berukuran sepuluh meter persegi, dengan jendela terbuat dari kayu jati kokoh terbuka lebar membiarkan hembusan angin memainkan tirainya dengan perlahan. Sinar matahari menyambangi sudut ruangan dengan ramah, seakan menjadi lentera bagi orang yang sedang  larut dalam dunianya.  Irama pahatannya merdu, entah sudah terbiasa atau memang irama ini yang selalu terdengar dari rumah ini. Sorot matanya tajam menatap detail pahatan yang sedang dikerjakan, sebuah ukiran Panglima Guan Yu, pesanan seorang konglomerat dari Jakarta yang sudah tiga bulan ini dikerjakannya. Ada tekstur yang dirasa masih kurang, belum mendekati imajinasinya, dia mengharapkan kesan gagah namun welas asih bisa terpatri dalam pahatan wajah Guan Yu ini. Menurut legenda, dia salah seorang Jenderal tersohor di Zaman Tiga Negara, dan dengan latar belakang seorang rakyat jelata, maka kesan garang penuh kekuatan dirasa tidak terlalu pas dengannya. Sebaliknya, bersahaja namun penuh pemikiran yang dalam. 

Dengan tangannya yang kokoh, Danu, mulai mengamplas beberapa bagian. Sesekali dia bisa mendengar deru kendaraan melaju pelan di jalanan depan studionya. Sudah hampir tujuh tahun lamanya, Danu memilih menetap di kota kecil ini, tempat silsilah keluarga besarnya berasal.  Dalam kenyataannya dia sendiri terlahir di kerasnya Ibukota lebih dari tiga dekade silam. Kepuasan batin, keseimbangan jiwa dan raga memang menjadi prioritas dia ketika memilih meninggalkan hiruk pikuk Ibukota. Walaupun masih banyak pertimbangan lainnya, tapi toh alasan ingin menekuni hobi dan keahliannya, sudah cukup untuk membuat Danu meninggalkan semuanya.

Danu memandangi pahatan Guan Yu di depannya, keringat yang bermunculan segera Ia seka dengan handuk kecil di bahunya. Ketika dulu dia mengambil jurusan Seni, Ayahnya sempat menentang dengan keras. Seniman tidak menghasilkan apapun, ‘ Memangnya kamu bisa hidup enak dengan kayu dan pahatan?’ begitu wejangan sang Ayah yang selalu dia ingat. Tetapi idealisme adalah kiblat bagi darah remaja Danu saat itu, dan sebuah ‘tanda mata’ di pipi adalah hasil yang dia dapat dari perbedaan pendapatnya dengan sang Ayah. Selanjutnya seperti kisah tahun `80an yang sempat terkenal, Danu remaja hidup bebas,  mengikuti jiwa seninya, mengembara mencari jati diri, namun tak jarang identitasnya dipertanyakan seperti Van Gogh. Lamunan Danu buyar seketika, ketika ketukan kecil terdengar dari pintu studionya, dia mengenali suara yang memanggilnya

                “Den Danu” sudah berapa kali Danu ingatkan agar Mbok Nem tidak usah memanggilnya dengan sebutan ‘Den”. Rasanya dipanggil dengan bentuk penghormatan seperti itu membuat dirinya kikuk, tapi hal seperti itu sudah merupakan hal yang mendarah daging bagi penduduk di sekitar sini tampaknya. Akhirnya dia menyerah memberitahu Mbok Nem agar tidak memanggilnya seperti itu, biarkan saja pikirnya.

                “Den Danu..permisi si Mbok mengganggu” ulang Mbok Nem dari luar studionya. Danu membuka pintu perlahan, agar cahaya matahari tidak langsung menyilaukan matanya yang masih membiasakan diri.

                “Ya, Mbok? Ada apa?” matanya masih memincing, berusaha menghalangi sinar matahari yang menyerbu masuk indra penglihatannya.

                “Anu, Den… itu ada tamu.” Mbok Nem berkata pelan, jemarinya tidak berhenti memainkan kain jarik yang dikenakannya. Biasanya itu pertanda jika dia sungkan, atau ada yang membuatnya gelisah.

                “Tamu, Mbok?” Danu mengerenyit heran, “Siapa? Rasanya hari ini saya tidak ada janji bertemu orang.”

“Itu..ng...yang pakai baju cokelat-cokelat, Pulisi, Den.” jawab Mbok nem ragu-ragu

“Pulisi? Oh, Polisi  maksud, Mbok?” Danu semakin heran dengan perkataan Mbok Nem.

“I..iya, Den. Si Mbok minta tunggu di luar dulu, soalnya mereka minta ketemu sama Den Danu”
“Ya sudah, suruh mereka masuk dulu, Mbok. Saya ganti baju dulu, nanti saya temui mereka.”

“Baik, den. Tapi…anu,Den. Den Danu nggak kenapa-kenapa kan? Si Mbok takut pas bapak-bapak itu datang”

                “Nggak, Mbok Nem. Tenang saja. Sudah jangan biarkan tamu menunggu, Mbok. Saya akan menysusul ke ruang tamu.”


Mbok Nem mengangguk lalu segera pergi meninggalkan studio kerja Danu. Rumah utama dengan studionya memang dibangun terpisah, karena Danu ingin fokus bekerja ketika memahat dalam ruangan yang hanya dia tahu. Setelah asisten rumah tangganya pergi, Danu mengambil baju yang tadi dia tanggalkan ketika memahat, dan mengenakannya  kembali. Dia rasa, Para Polisi itu pasti paham beratnya pekerjaan seorang pemahat seperti dirinya, walaupun kali ini dia tidak tahu apa yang membuat abdi Negara itu datang ke rumahnya. Seingat dia, urusan melanggar  hukum terakhir yang dia lakukan, adalah berputar di tikungan yang salah, itupun dapat diselesaikan dengan satu salaman saja.