Dina
menggenggam erat tas kerjanya yang bewarna putih gading dengan sekuat tenaga, pemandangan
yang dia saksikan bersama koleganya seakan terjadi secepat kilat, tanpa jeda. Jika
ini sebuah rekaman decoder pastilah dia bisa menghentikannya sejenak, tapi ini
kenyataan yang membuat tenggorokannya tercekat. Dia hendak pulang saat tubuh
Henry Santoso terjun bebas dan menghantam mobil Daniel yang ditumpangi oleh
mereka berdua. Arloji di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukan pukul
setengah sebelas malam, dan tidak ada tanda-tanda dia bisa segera pulang
setelah raungan suara sirine serta mobil ambulance berada di sini untuk
mengevakuasi jenazah bossnya tersebut.
Dia melirik
Daniel yang sedang merenggut-renggut rambutnya, petugas sedang menanyai dia,
dan sejumlah saksi mata saat kejadian terjadi. Garis kuning polisi sudah
terpasang, dan Dina hanya bisa melongo tidak mampu berkata-kata. Dadanya bergemuruh,
entah dia harus sedih, senang atau kecewa. Dalam lamunannya Dina kemudian
menyadari sebuah mobil mewah buatan pabrikan Jerman bewarna biru dongker masuk ke
dalam area parkir, pintunya terbuka dengan cepat, dan dari pintu belakang
penumpangnya langsung keluar tanpa menutupnya kembali. Ah, dia istri bossnya. Tentu
saja dia akan datang dengan muka panik mengetahui hal ini.
“Suami saya. Suami saya, Pak!!”
ratap Miranda dengan histeris, tatanan rambutnya masih sama seperti terakhir
kali dia melihatnya meninggalkan kantor malam itu. Namun, riasan make upnya
luntur akibat air mata membuat wajahnya pucat.
Satu
per satu mobil berdatangan ke area ini, membuat petugas kewalahan untuk
mengantisipasi raungan dari orang-orang terdekat Henry Santoso
“PAPA!” teriak Harshinta sembari
berlari menuju garis polisi, namun segera dihadang oleh dua orang petugas yang
sedang berjaga di dekatnya. “Papa! Papa!” serunya berulang-ulang, seorang
polisi wanita bergegas mendatanginya agar Harshinta dapat tenang dan tidak
menghalangi proses penydidikan
“Dina!” panggil Daniel padanya, mengeyahkan
pandangannya dari adegan dua orang yang selalu berselisih paham, tapi bisa
menjadi satu dalam kejadian tragis seperti ini “Saya bersama Dina, sekretaris
Pak Henry saat kejadian itu. Bapak dapat mengkonfrotir keterangan saya padanya,
juga pada satpam yang bertugas”
Petugas itu melirik Dina, dan mulai
bertanya padanya “Apakah benar, Bapak Daniel, dan Ibu berada di dalam mobil
saat kejadian?”
Dina
mengangguk, “Be..benar, Pak”
“Bisa dijelaskan, apa saja yang
anda dan Bapak Daniel saat itu lakukan, sehingga harus pulang larut di hari
naas ini?”
Dina menelan ludahnya, dan mulai
berbicara “Kami ..lembur” sejenak dia menatap Daniel, dan Daniel seolah
merespon dengan anggukannya. “Ada pekerjaan untuk perjanjian jual beli yang
harus diselesaikan besok, jadi saya mengurusnya. Kebetulan Pak Daniel juga sama
masih ada di kanotr, dan kami janji untuk pulang bersama”
“Apakah kalian berdua punya
hubungan khusus?”
Dina sontak menggerakan kedua tangannya “Tidak,
Pak! Kami hanya rekan kerja”
“Iya, saya harus menyiapkan
pembukaan restoran baru punya Ibu Miranda besok, jadi ada pekerjaan yang harus
saya selesaikan mala mini. Kami rekan kerja, Pak. Saya hanya berinisiatif
mengantarnya pulang, akrena hari sudah malam”
“Lalu, apa yang terjadi? Pukul
berapa Anda, kalian berdua maksud saya, keluar dari kantor?” tanya petugas
tersebut sambil mencatat keterangan dari mereka berdua dengan detail
“Sekitar jam delapan lewat, saya
ingat waktu itu saya masuk ke dalam mobil saat ada pertandingan sepakbola di
ruangan satpam berjaga. Kira-kira sekitar jam setengah Sembilan sepertinya”
“Anda juga, Ibu Dina?”
“Eh, ng, saya menyusul Pak
Daniel. Pak Henry meminta saya membantunya, jadi saya baru turun setelah jam sembilan
lewat.”
“Ah, benar Pak. Dina menyusul
saya, setelah yah, lima atau sepuluh menit baru saya menyalakan mobil. Dan saat
itu… Pak Henry terjatuh”
“Maaf, Pak,” suara seorang wanita
menyela sesi introgasi mereka, Miranda mulai menanyakan tentang suaminya pada
petugas yang menanyai mereka “Apa yang terjadi, dengan suami saya?” suaranya
terdengar tercekik pelan. Air mata tidak henti-hentinya mengalir dari bola
matanya yang indah.
“Begini..maaf, biar bagian forensik
dan atasan saya yang akan menjelaskannya pada, Ibu. Silahkan ibu tunggu
sebentar, akan saya panggilkan.”
“Saya butuh penjelasannya, Pak.
Siapa yang melakukannya? Mengapa suami saya yang harus menjadi korbannya?”
“Ibu, saya mohon Ibu tenang
dulu. Biarkan kami para petugas melakukan pekerjaannya” tapi tidak lama setelah
itu seorang petugas forensik datang bersama dengan seorang pria berjaket kulit
hitam.
“Ibu Miranda. Saya Sofyan, dari
unit reserse kriminal. Kami turut berduka cita, bahwa suami anda Henry Santoso,
tewas terjatuh dari lantai dua. Perlu saya sampaikan, apakah tadi Anda datang
kemari?”
Miranda terkulai lemas ke tanah,
dari belakang seorang polwan terpogoh-pogoh membantunya berdiri kembali, “Benar.
Saya datang, namun malah saya bertengkar dengannya” Miranda mengatakannya
sambil terisak lirih
“Bertengkar?” tanya Bripka
Sofyan padanya
Miranda mengangguk, “Saya marah
padanya, karena sikap putri kami. Setelah itu saya pergi”
“Lapor, Pak! Saya telah
memastikan kamera pengawas, memang benar Ibu Miranda datang, tapi dia pergi
kembali tidak lama setelahnya “ ujar salah seorang petugas
“Jika anda bertengkar, jika
begitu…maaf saya harus tanyakan hal ini pada Anda, mengapa bisa ditemukan bekas
sperma pada pakaian korban? Apakah Ibu melakukan hubungan dengan korban saat
itu?”
Miranda melonggo, dan menggeleng
“Saya ..tidak….” sedikit bingung, tapi tidak lama dia menoleh ke arah
sekretaris suaminya yang berdiri tidak jauh dari mereka, “Apa kamu…… Dina?”
tanyanya pelan namun menusuk dan dingin
Mata semua orang menuju pada
arah Dina yang berubah pucat pasi. Miranda bangkit, lalu berusaha mencengkram
kerah bajunya, untung petugas dengan sigap menghentikan wanita tersebut.”Apa
kamu pembunuhnya?!” teriak Miranda
Dina mulai menangis, dan
histeris “Tidak! Tidak! Bukan saya, sungguh pelakunya bukan Saya, Pak!”
Bripka Sofyan menghela nafas,
tampaknya ini lebih rumit dari kasus pembunuhan biasa, “Ibu Dina, sekali lagi
saya tanyakan pada anda, apa yang anda lakukan di malam Henry Santoso tewas?”
“Kamu kira, saya tidak tahu
Dina?! Saya tahu, saya tahu! Kamu dan suami saya….” Miranda kembali berteriak
dan menangis
“Apakah benar apa yang dikataan olehnya?
Bripka Sofyan mepertegas pertanyaannya
“Saya..saya tidak membunuhnya….tapi,
saya memang mencitainya, Pak!” Dina menutup mukanya dan membiarkan air mata
mengalir bersama rasa penat di dadanya. Malam semakin dingin, seperti tubuh
Henry Santoso yang sudah mulai mendingin, terbujur kaku dalam kantung hitam
yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berteriak.