Minggu, 17 April 2016

Bab 6-2

Dina menggenggam erat tas kerjanya yang bewarna putih gading dengan sekuat tenaga, pemandangan yang dia saksikan bersama koleganya seakan terjadi secepat kilat, tanpa jeda. Jika ini sebuah rekaman decoder pastilah dia bisa menghentikannya sejenak, tapi ini kenyataan yang membuat tenggorokannya tercekat. Dia hendak pulang saat tubuh Henry Santoso terjun bebas dan menghantam mobil Daniel yang ditumpangi oleh mereka berdua. Arloji di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam, dan tidak ada tanda-tanda dia bisa segera pulang setelah raungan suara sirine serta mobil ambulance berada di sini untuk mengevakuasi jenazah bossnya tersebut.

Dia melirik Daniel yang sedang merenggut-renggut rambutnya, petugas sedang menanyai dia, dan sejumlah saksi mata saat kejadian terjadi. Garis kuning polisi sudah terpasang, dan Dina hanya bisa melongo tidak mampu berkata-kata. Dadanya bergemuruh, entah dia harus sedih, senang atau kecewa. Dalam lamunannya Dina kemudian menyadari sebuah mobil mewah buatan pabrikan Jerman bewarna biru dongker masuk ke dalam area parkir, pintunya terbuka dengan cepat, dan dari pintu belakang penumpangnya langsung keluar tanpa menutupnya kembali. Ah, dia istri bossnya. Tentu saja dia akan datang dengan muka panik mengetahui hal ini.

                “Suami saya. Suami saya, Pak!!” ratap Miranda dengan histeris, tatanan rambutnya masih sama seperti terakhir kali dia melihatnya meninggalkan kantor malam itu. Namun, riasan make upnya luntur akibat air mata membuat wajahnya pucat.

Satu per satu mobil berdatangan ke area ini, membuat petugas kewalahan untuk mengantisipasi raungan dari orang-orang terdekat Henry Santoso

                “PAPA!” teriak Harshinta sembari berlari menuju garis polisi, namun segera dihadang oleh dua orang petugas yang sedang berjaga di dekatnya. “Papa! Papa!” serunya berulang-ulang, seorang polisi wanita bergegas mendatanginya agar Harshinta dapat tenang dan tidak menghalangi proses penydidikan

                “Dina!” panggil Daniel padanya, mengeyahkan pandangannya dari adegan dua orang yang selalu berselisih paham, tapi bisa menjadi satu dalam kejadian tragis seperti ini “Saya bersama Dina, sekretaris Pak Henry saat kejadian itu. Bapak dapat mengkonfrotir keterangan saya padanya, juga pada satpam yang bertugas”

                Petugas itu melirik Dina, dan mulai bertanya padanya “Apakah benar, Bapak Daniel, dan Ibu berada di dalam mobil saat kejadian?”

Dina mengangguk, “Be..benar, Pak”

                “Bisa dijelaskan, apa saja yang anda dan Bapak Daniel saat itu lakukan, sehingga harus pulang larut di hari naas ini?”

                Dina menelan ludahnya, dan mulai berbicara “Kami ..lembur” sejenak dia menatap Daniel, dan Daniel seolah merespon dengan anggukannya. “Ada pekerjaan untuk perjanjian jual beli yang harus diselesaikan besok, jadi saya mengurusnya. Kebetulan Pak Daniel juga sama masih ada di kanotr, dan kami janji untuk pulang bersama”

                “Apakah kalian berdua punya hubungan khusus?”

                 Dina sontak menggerakan kedua tangannya “Tidak, Pak! Kami hanya rekan kerja”

                “Iya, saya harus menyiapkan pembukaan restoran baru punya Ibu Miranda besok, jadi ada pekerjaan yang harus saya selesaikan mala mini. Kami rekan kerja, Pak. Saya hanya berinisiatif mengantarnya pulang, akrena hari sudah malam”

                “Lalu, apa yang terjadi? Pukul berapa Anda, kalian berdua maksud saya, keluar dari kantor?” tanya petugas tersebut sambil mencatat keterangan dari mereka berdua dengan detail

                “Sekitar jam delapan lewat, saya ingat waktu itu saya masuk ke dalam mobil saat ada pertandingan sepakbola di ruangan satpam berjaga. Kira-kira sekitar jam setengah Sembilan sepertinya”

                “Anda juga, Ibu Dina?”

                “Eh, ng, saya menyusul Pak Daniel. Pak Henry meminta saya membantunya, jadi saya baru turun setelah jam sembilan lewat.”

                “Ah, benar Pak. Dina menyusul saya, setelah yah, lima atau sepuluh menit baru saya menyalakan mobil. Dan saat itu… Pak Henry terjatuh”

                “Maaf, Pak,” suara seorang wanita menyela sesi introgasi mereka, Miranda mulai menanyakan tentang suaminya pada petugas yang menanyai mereka “Apa yang terjadi, dengan suami saya?” suaranya terdengar tercekik pelan. Air mata tidak henti-hentinya mengalir dari bola matanya yang indah.

                “Begini..maaf, biar bagian forensik dan atasan saya yang akan menjelaskannya pada, Ibu. Silahkan ibu tunggu sebentar, akan saya panggilkan.”

                “Saya butuh penjelasannya, Pak. Siapa yang melakukannya? Mengapa suami saya yang harus menjadi korbannya?”

                “Ibu, saya mohon Ibu tenang dulu. Biarkan kami para petugas melakukan pekerjaannya” tapi tidak lama setelah itu seorang petugas forensik datang bersama dengan seorang pria berjaket kulit hitam.

                “Ibu Miranda. Saya Sofyan, dari unit reserse kriminal. Kami turut berduka cita, bahwa suami anda Henry Santoso, tewas terjatuh dari lantai dua. Perlu saya sampaikan, apakah tadi Anda datang kemari?”

                Miranda terkulai lemas ke tanah, dari belakang seorang polwan terpogoh-pogoh membantunya berdiri kembali, “Benar. Saya datang, namun malah saya bertengkar dengannya” Miranda mengatakannya sambil terisak lirih

                “Bertengkar?” tanya Bripka Sofyan padanya

                Miranda mengangguk, “Saya marah padanya, karena sikap putri kami. Setelah itu saya pergi”

                “Lapor, Pak! Saya telah memastikan kamera pengawas, memang benar Ibu Miranda datang, tapi dia pergi kembali tidak lama setelahnya “ ujar salah seorang petugas

                “Jika anda bertengkar, jika begitu…maaf saya harus tanyakan hal ini pada Anda, mengapa bisa ditemukan bekas sperma pada pakaian korban? Apakah Ibu melakukan hubungan dengan korban saat itu?”

                Miranda melonggo, dan menggeleng “Saya ..tidak….” sedikit bingung, tapi tidak lama dia menoleh ke arah sekretaris suaminya yang berdiri tidak jauh dari mereka, “Apa kamu…… Dina?” tanyanya pelan namun menusuk dan dingin

                Mata semua orang menuju pada arah Dina yang berubah pucat pasi. Miranda bangkit, lalu berusaha mencengkram kerah bajunya, untung petugas dengan sigap menghentikan wanita tersebut.”Apa kamu pembunuhnya?!” teriak Miranda

                Dina mulai menangis, dan histeris “Tidak! Tidak! Bukan saya, sungguh pelakunya bukan Saya, Pak!”

                Bripka Sofyan menghela nafas, tampaknya ini lebih rumit dari kasus pembunuhan biasa, “Ibu Dina, sekali lagi saya tanyakan pada anda, apa yang anda lakukan di malam Henry Santoso tewas?”

                “Kamu kira, saya tidak tahu Dina?! Saya tahu, saya tahu! Kamu dan suami saya….” Miranda kembali berteriak dan menangis

                “Apakah benar apa yang dikataan olehnya? Bripka Sofyan mepertegas pertanyaannya

                “Saya..saya tidak membunuhnya….tapi, saya memang mencitainya, Pak!” Dina menutup mukanya dan membiarkan air mata mengalir bersama rasa penat di dadanya. Malam semakin dingin, seperti tubuh Henry Santoso yang sudah mulai mendingin, terbujur kaku dalam kantung hitam yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berteriak.

Minggu, 10 April 2016

Bab 6

Dengan tertatih-tatih Danu mengangkat sebuah kanvas berukuran besar dari gudang menuju halaman belakang. Kemarin dia membereskan semua perlatan seninya di rumah ini, dan lukisan Miranda yang tidak sempat dia selesaikan sejak bertahun-tahun lalu termasuk ke dalam barang yang akan dia singkirkan. Setelah semua menumpuk di halaman belakang, dia mulai menyalakan api. Tidak cukup sulit, karena sebagian besar barang-barang ini terdiri dari cat minyak yang mudah sekali terbakar.

Api mulai menyeruak, meletup-letup kecil dan menjalar perlahan seiring memakan seluruh kenangan Danu terhadap Miranda. Dalam hati kecilnya dia cukup miris, di tengah udara Jakarta yang panas, dan lapisan atsmosfernya sudah berlubang di sana sini, dia membebani kota ini dengan asap kenangannya.Walaupun begitu, dia akan menghadiri peresmian restorannya yang terbaru, bukan sebagai teman ataupun bekas teman, melainkan sebagai kolega bisnis, seperti yang dia putuskan. Masih ada waktu tiga jam lagi untuk bersiap-siap, Nita juga sudah menyiapkan makan pagi untuknya sebelum berangkat mengantar anaknya, sementara ayahnya masih mengurung diri di kamar. Nita pernah menyinggung kebiasaan ayahnya yang baru ini ‘Mas, sekarang Ayah kalau nggak pergi kemana-mana nyaris tidak pernah keluar kamar, kalau kupanggil hanya menyahut setelah itu seperti tidak ada apa-apa’ , yah, dia merasakan kekhawatiran adiknya itu, tapi berbicara dengan ayahnya tidak semudah yang dipikirkan olehnya. Masih ada tembok pembatas antara dia dan ayahnya, yang sangat sulit untuk dia robohkan dengan satu pukulan.

Danu meninggalkan kanvas yang terbakar, dan beranjak menuju ruang makan. Dia mengambil sehelai roti tawar dan mulai memakannya. Teleponnya sedari tadi begetar karena bunyi pesan, ada tiga pangilan tidak terjawab, dan lima pesan singkat. Sangat aneh baginya menerima pesan sebanyak ini, selain iklan operator telepon yang menawarkan premium call ataupun tips-tips percintaan dari majalah picisan. Sambil memindahkan saluran televisi, Danu mengamati satu per satu panggilan masuk dan pesan singkat ke dalam ponselnya. Satu pesan cukup membuat dia mengerrenyit dan terkejut, ditambah dengan isi dari pesan tersebut.

‘Selamat Pagi Bapak Danu, saya Arifin. Saya minta nomor telepon ini dari pembantu anda, sedari tadi saya mencoba menghubungi tapi tidak ada jawaban. Apa Mas Danu masih di Jakarta? Ada yang perlu saya tanyakan segera. Terimakasih”

Bripka Arifin menghubunginya, dan panggilan masuknya datang dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama. Dia melihat ke arah saluran teleisi, bersamaan dengan suara pintu kamar ayahnya yang terbuka. Ayahnya masih menggunakan celana bokser kebesaran dengan motif cokelat muda kotak-kotak. Agak kontras dengan tubuhnya yang kurus, membuatnya terlihat tenggelam dalam pakaian itu. Kacamata bacanya terlihat longgar, dan dia menuju lemari pendingin, mencoba mencari sesuatu yang bisa diminum. Nita selalu menyediakan jus buah segar, baik yang dia buat sendiri atau yang sudah terkemas dalam karton minuman.  

                “Kalau jus, ada di sini, Pah” Danu mengangkat sebuah pitcher dengan air bewarna kuning segar, dan menunjukan pada ayahnya. Canggung, tapi melihat ayahnya yang sudah terbilang memasuki usia senja, tidak ada salahnya dia mencairkan suasana.
Ayahnya hanya mendongak, tanpa suara dia menghampiri Danu yang sudah duduk di kursi sembari memegang gelas minuman dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk melihat ponsel pintarnya.

                “Tolong isikan punya Papa” jawab ayahnya

Danu tertegun, lalu mengambil segelas cangkir dan menuangkan jus jeruk ke dalamnya. Sudah lama dia tidak berbicara seperti ini dengan ayahnya, bahkan ini adalah percakapan normal yang mereka miliki setelah lebih dari satu dasawarsa.


                “Segini cukup?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan ayahnya yang sedang membolak balik Koran terbaru hari ini. Satu hal menarik perhatian Danu, headline surat kabar itu. Dia menoleh kea rah televisi yang menapilkan berita khusus Ibukota pagi ini dan hampir tersedak dengan air liurnya sendiri. Tulisannya cukup jelas, dan kentara “DIREKTUR PERUSAHAAN RETAIL, HENRY SANTOSO, TEWAS TERJATUH”

Selasa, 05 April 2016

Bab 5-3


Berkutat di depan komputer bersama dengan setumpuk data untuk kegiatan esok hari bukanlah lembur yang menyenangkan. Bagi Daniel, kematian Adi membuatnya mendapatkan banyak pekerjaan yang sangat sulit dia lakukan sendiri. Peresmian unit usaha kuliner milik istri atasannya dalam hitungan jam, dia sudah menugaskan dua orang dari timnya untuk mengecek kelengkapan di lokasi, sementara dia merapihkan adimistrasi di kantor, seharusnya saat ini dia bisa bersantai di sebuah bistro daerah Kemang bersama kawan-kawannya , mencari perempuan untuk diajak kenalan, jika beruntung mungkin bisa berlanjut hingga tengah malam.

Bisa saja dia menolak, tapi Ibu Miranda bukan wanita bodoh seperti atasan wanitanya yang lain. Dibalik sikapnya yang tenang dan elegan, terkadang Daniel merasakan karakter tangan besinya dalam urusan bisnis. Dia pernah mendapatkan omelan hampir seharian penuh karena salah mengkalkulasi perhitungan kerjasama dengan salah satu bank besar di sini. Hanya orang bodoh yang tidak mau belajar dari pengalaman, dan dia tidak mau termasuk ke dalam salah satunya.

Beberapa lampu meja mulai dimatikan, petugas kebersihan juga sudah selesai mengepel lantai ruangan ini. Minum kopi sejenak mungkin bisa melepaskan rasa lelah, gumamnya dalam hati. Dengan langkah berat Daniel beranjak dari kursinya, membawa cangkir yang selalu ada di atas mejanya, dia menuju ruang pantry. Jam di dinding kantor menunjukan jam delapan lewat sepuluh, sudah lewat tiga jam dari waktu pulang normalnya. Dengan malas, Daniel membuka bungkus kopi satchet beraroma mocha dan menyeduhnya perlahan. Aroma kopi menyeruak dan membangkitkan instingnya untuk merokok, namun dia harus keluar beranda untuk sekedar menyalakan pematik. Ada aturan jelas tentang larangan merokok di kantor ini, pencetusnya siapa lagi jika bukan para wanita yang risih dengan bau asap di dekat mereka, dan keinginan untuk merokok sudah tidak bisa diajak berkompromi, dia harus kembali ke ruangannya sejenak untuk mengambil satu bungkus candu itu.

Melewati dekat ruangan bossnya, Daniel dikejutkan oleh bunyi ‘ckrek’ pelan dari ruangan Herry Santoso. Rupanya Dina, sekretaris bossnya yang baru saja keluar. Mungkin dia  terkejut, sama halnya dengan dirinya yang mendapati karyawan lain yang masih berada di kantor selarut ini.

                “Lembur, Din?” sapa Daniel padanya, Dina hanya mengangguk.

                “Iya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pak Daniel belum pulang juga?”

                “Sama denganmu. Masih ada yang harus dikerjakan untuk besok”

                “Buat peresmian restoran itu ya?” tanya Dina padanya

                “Iya. Pesanan dari Ibu nih. Kamu mau pulang?” Daniel melihat Dina sudah mulai memasukan beberapa barangnya ke dalam tas.

                “I..iya. Sudah malam sih.”

                “Ya sudah biar aku antar deh.” Daniel memutuskan untuk pulang juga bersama dengan Dina, dia juga sudah merasa lelah saat ini, walau dia tidak terlalu dekat dengan sekretaris bossnya itu, tapi perempuan ini bisa menjadi alasan yang bagus jika dirinya ditanya mengapa dia pulang lebih cepat sementara dua orang anak buahnya masih berkutat dengan seremoni  esok hari?

                “Memangnya sudah selesai semua, Pak?”

                “Besok pagi sekali akan aku selesaikan. Sudah capai banget. Kamu tunggu sini ya, Din. Saya ambil tas saya lebih dulu”

Daniel hendak pergi ketika, Miranda Santoso datang dengan terburu-buru, suara sepatunya bagaikan tabuhan simbal di tengah ruangan yang hening ini, dan langsung masuk ke dalam ruangan suaminya. Dia dan Dina hanya saling pandang, sambil mengangkat bahu mereka.  Tidak lama terdengar suara gaduh dan ribut dari dalam ruangan Herry Santoso. Kadang-kadang, mereka memang selalu berselisih pendapat, dan tidak peduli apakah sedang di kantor sekalipun. Para karyawan sudah maklum akan hal tersebut, namun ketika badai itu reda mereka akan tampak seperti pasangan bahagia yang tidak pernah ada masalah.

                “Kenapa lagi, Din?” bisik Daniel pada Dina yang berada di sampingnya. Rasa ingin tahunya muncul begitu saja.

                “Entahlah, Pak. Kayaknya masalah anaknya, Shita.”

                “Pokoknya, kamu harus cepat pulang, Pih! Beri tahu anak gadismu, di mana dia harus menempatkan etika dan tata kramanya! Tidak sepantasnya dia melunjak di hadapanku, Miranda Santoso! ” usai menyerukan hal itu, Miranda Santoso membanting pintu ruangan suaminya dengan keras dan berlalu. Meninggalkan dua orang karyawannya yang masih menatapnya dengan melongo.

                “Sial!” terdengar umpatan dari dalam pintu, dan Herry keluar sambil berkacak pinggang. Melihat kearah dirinya dan Dina yang masih berada di depan pintu, suasana yang benar-benar tidak mengenakan. “Kalian masih di sini?” tegurnya dengan nada tinggi

                “Ka..kami sudah mau pulang, Pak.” jawab Daniel dengan terbata-bata, dia enggan terkena murka dari atasannya. Dina hanya menunduk, dan mengiyakan pelan

                “Hah! Dina kamu bantu saya sebentar”

                “Ta..tapi saya..” Dina melirik ke arah Daniel meminta bantuan dari rekan sekantornya itu

                “Kami tadinya mau pulang bersama, saya mau mengantarnya, Pak”

                Herry Santoso melihat arlojinya yang mengkilap, memang sudah larut, “kamu tunggu saja di parkiran, biarkan Dina membantu saya sebentar” kali ini Herry menurunkan nada suaranya. Daniel hanya mengiyakan, dan mengatakan pada Dina bahwa dia akan menunggu di parkiran mobil.

Benar saja parkiran pun sudah sepi, hanya dua orang satpam yang berjaga terlihat di posnya sambil menyaksikan tayangan televisi. Ada turnamen sepakbola, dan pastinya mereka membuat taruhan tentang klub mana yang akan keluar menjadi pemenangnya.

                “Pak Daniel!” lambai salah seorang satpam kepadanya “Belum pulang, Pak?”

                Daniel hanya tersenyum dan menyahut “Belum. Lembur!” setelah itu dia masuk ke dalam mobil, meletakan tas kerjanya di jok belakang dan menyalakan power mesinnya. Suara blower AC terdengar, seiring hawa dingin yang menerpa, dia menyalakan radio mencari lagu kesukaannya diputar di frekuensi tertenntu, dan benar saja dia menemukannya. Menunggu membosankan, tapi dengan kecanggihan dunia teknologi bernama telepon pintar, semua kebosanan bisa teratasi. Apalagi begitu banyak pesan yang masuk selama dia menyelesaikan pekerjaannya belum sempat dia balas satu persatu, itu cukup untuk membuat pikirannya teralihkan.

Setelah beberapa lama, Daniel melihat jam yang tertera di layar ponselnya. Sudah hampir empat puluh menit dia menunggu, rupanya lama juga dia menunggu Dina turun. Namun, ketika hendak menelepon sekretaris bossnya itu, ada yang mengetuk kaca mobilnya. Dina sudah datang sambil terengah-engah.

                “Pak Daniel, maaf sudah menunggu lama.”

                “Ya sudah, ayo masuk Din.” Daniel menatap Dina yang tampak berantakan. Pasi dia berlari menuruni tangga ketika turun. Elevator sudah dimatikan sejak pukul delapan oleh penjaga, jadi semua karyawan harus memakai tangga jika mereka terjeak dalam lemburan yang padat. “Ada air minum di belakang, jika kamu kehausan, Din. Minum saja, tidak apa-apa. Santai saja dulu. Habis berlari?”

                Dina menengok ke arah belakang, dia mendapati dua buah minman gelas yang amsih tertutup, dan mengambilnya “Eh? Iya.. tadi sedikit berlari. Ga enak sudah ditungguin, padahal Bapak pulang saja duluan”

                “Jangan, nggak baik perempuan pulang malam sendirian. Jakarta apalagi, bisa-bisa besok kamu dibegal orang bagaimana? Sudah ya? Kita berangkat” Daniel memasukan persenling mobilnya, dan bersiap untuk tancap gas, namun belum sepuluh meter dia beranjak sebuah benturan kencang terdengar di depan dashboard mobilnya.

Tertegun, tanpa bisa berkata-kata mereka berdua melihat sebuah tubuh menghantam kap depan mobilnya. Dina menjerit histeris, para satpam  bergegas menghampiri sambil berteriak. Daniel keluar segera dari mobilnya dan serasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tubuh atasannya, Herry santoso, jatuh terdampar di atas kap mobilnya. Berlumuran darah.


Sabtu, 02 April 2016

Bab 5-2

Bau asap rokok pekat menyelimuti ruangan, Danu melihat ke sekelilingnya, sinar matahari sudah memasuki kamar ini entah sejak berapa jam yang lalu. Di sampingnya seorang wanita cantik sedang menghisap sebatang rokok di sela jemarinya yang lentik, kulitnya yang putih makin bersinar karena sentuhan cahaya yang menerpanya. Danu menyentuh helaian rambutnya, dan wanita itu pun menoleh ke arahnya,  tersenyum dan memanggilnya pelan “Sudah bangun?”

Danu membalas senyumannya, menarik lengannya dan membuat wanita tersebut kembali ke dalam dekapannya. Terdengar cekikik kecil, tapi dipagutnya bibir merah mungil itu dengan gairah yang mengebu. “Dan, sebentar, aku belum simpan rokok ini” ucap wanita dalam dekapannya. Danu menghiraukannya, jemarinya terus bergerak menyisiri tiap jengkal lekuk tubuh wanita ini, menicumi rambutnya seakan dunia akan berakhir esok hari, seraya berkata “Kamu cantik sekali pagi ini, Mir!”. Perempuan itu tertawa, dan menghempaskan tubuhnya pelan, Danu merasakan kepalanya berputar dalam labirin hitam, saat tersadar dia mendapati dirinya tengah terengah-engah dalam kamar yang pengap.

Butuh waktu agak lama bagi Danu untuk membiasakan diri, dia melihat arloji di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, sudah lewat dari jam delapan pagi, bahkan hampir menyentuh angka sembilan. Pantas saja hawa terasa gerah, penghitung waktu dari mesin pendingin ruangan pastinya sudah mati sejak tadi. Badannya terasa lelah akibat perjalanan kemarin,  setelah memukul-mukul pundaknya dengan kepalan tanganya, Danu membuka pintu kamarnya menuju ruang makan.

Rumahnya sepi, kedua mobil yang kemarin terparkir sudah tidak ada di parkiran garasi. Nita kemarin memang bilang padanya jika mereka selalu berangkat sebelum jam delapan. Apalagi dia harus mengantar anaknya ke kelompok bermain terlebih dahulu. Danu mengambil secangkir gelas, dan menuangkan air mineral ke dalamnya. Meneguknya perlahan, membiarkan rasa dingin menerjang kerongkongannya. Pertemuannya kemarin malam dengan Ayahnya juga berlangsung singkat, dia hanya berkata ‘Kamu datang?’ lalu segera masuk ke dalam kamarnya. Yah, dia sendiri juga tidak mengharapkan pelukan selamat datang, atau sambutan hangat layaknya film televisi dengan air mata bercucuran.

Sepanjang ingatan Danu tentang ayahnya, Budi Sudawirya, yang langsung teringat adalah sifatnya yang kaku. Dia seorang dokter spesialis penyakit dalam, sepanjang karirnya bisa dikatakan cemerlang. Lulus dari sekolah kedokteran ternama di negeri ini, mendapatkan beasiswa kedokteran ke Belanda guna melanjutkan studinya, dan bekerja di rumah sakit yang bonafit di salah satu kawasan di Jakarta. Tidak heran dia menginginkan anak-anaknya meneruskan jejaknya, yang sudah dipatahkan oleh Danu sebagai anak tertua. Kedokteran tidak menarik baginya, walalupun kapasitas otaknya saat dia masih sekolah cukup untuk memasuki jurusan yang diperebutkan oleh banyak orang. Akhirnya Nita yang melanjutkan harapan ayahnya agar garis dokter masih ada dalam garis keluarga mereka.

Menurut ibunya, ayahnya sangat kecewa ketika mengetahui Danu tidak tertarik sama sekali menjadi seorang dokter, apalagi dia anak laki-laki di keluarga ini. Walaupun ibunya mendukung keputusannya masuk ke jurusan Seni, Danu tahu bahwa semenjak itu hubungan antara ayah dan ibunya sering dilanda masalah. Ada saja alasan yang membuat ayahnya untuk melampiaskan kekesalannya di rumah, jika dinding ruang makan ini bisa bicara entah berapa banyak peralatan pecah belah sudah berterbangan di sini.


Sekilas masa lalu juga mengingatkannya akan pertemuannya kemarin dengan Miranda, wanita yang hadir kembali di alam mimpinya, dalam sekilas dia bisa mengetahui jika Miranda sekarang sudah hidup nyaman. Herry Santoso adalah sosok pria ideal baginya, dibandingkan dengan dirinya yang hanya seorang seniman, itupun bukan seniman sesungguhnya, lebih tepat dikatakan menggantungkan hidup dengan menjual karya. Nita mengatakan bahwa beberapa barangnya disimpan di gudang, jadi hari ini dia akan melihat kondisinya, sekaligus menyingkirkan beberapa peralatan yang dirasa sudah waktunya untuk dibuang.

Kamis, 31 Maret 2016

Bab 5

Bab 5

Danu membuka pintu pagar yang sudah berkarat –dan terlihat jelas tidak dirawat oleh pemilik rumah ini- hingga menimbulkan bunyi gesekan besi yang nyaring, perlu usaha besar untuk menutupnya kembali tanpa menimbulkan kegaduhan bagi tetangga di depannya. Rumah ini berada di tikungan jalan, dan rumah sebelah kanan walaupun kosong tapi masih menjadi satu bagian dari rumah ini. Dia sudah kembali pulang ke tempat yang sudah lama dia tinggalkan. Masih tetap sama, bahkan cat rumahnya yang bewarna cream tua kini bercampur dengan banyak noda. Entah noda debu jalanan, atau cipratan lumpur, bisa jadi keduanya yang membuatnya lebih bewarna cokelat. Danu duduk sebentar di beranda depan rumah, melihat sekelilingnya, dua mobil city car dengan persneling otomatis terparkir berjajar, berarti pemiliknya sudah ada di rumah, jam tangan di lengannya memang sudah menunjukan hampir jam delapan malam, dan benar saja pintu belakang di dekat garasi terbuka menampakan sosok perempuan yang sudah lama tidak dia temui

                “Mas Danu?” tanya suara tersebut dengan hati-hati, di baliknya tampak seorang gadis kecil berkucir kuda melihat dengan takut-takut. Danu beranjak dan mendekati mereka dengan tersenyum

                “Iya. Aku pulang” setelah Danu menjawab panggilan itu nampak perasaan lega terpancar dari wajah itu, ada sedikit genangan air mata terlihat di pelupuk matanya dan dengan segera dia usap.  Adiknya memang sensitif, hal yang membuatnya terharu selalu saja membuatnya meneteskan air mata. Dulu saat mereka masih kecil, dia sempat khawatir apakah adiknya akan mudah dipermainkan orang atau tidak. Untunglah dia menemukan pria yang tepat ketika dewasa. Danu kemudian berjongkok dan menatap gadis kecil yang bersembunyi di balik badan ibunya “Coba Paman tebak, pasti kamu Rosa?”

Gadis kecil itu mengangguk, dan segera menyembunyikan wajahnya kembali sambil terkikik di balik badan ibunya. “Ayo masuk, Mas. Di luar banyak nyamuk. Aku juga baru pulang, baru dari klinik” Danu mengiyakan, dan mengikutinya masuk ke rumah.

Suasana temaram, sejak dahulu ayahnya tidak menyukai cahaya lampu neon yang bewarna putih, silau alasannya. Meja makan tampak berantakan, sejauh dia ingat dulu Ibunya selalu menata rapih setiap letak peralatan makan. Mulai dari sendok, garpu, pisau makan, piring hingga detail tisu makan yang akan digunakan. ‘Seseorang bisa dilihat derajatnya dari tata cara dia makan, Dan’ begitulah prinsip Ibu mereka. “Sepi sekali, pada kemana?’

                “Oh, Mas Agung sedang dinas keluar kemarin. Mungkin baru minggu depan pulang. Dia titip salam, katanya maaf tidak bisa menjemput Mas Danu. Papa belum pulang, malam banget mungkin dia baru sampai. Mas mau minum?”

                “Ambilkan air putih, Nit. Daritadi kerongkonganku gatal”

Nita menuangkan segelas air putih untuk kakaknya, dan mengambil beberapa biskuit dari dalam wadah plastik penyimpan makanan untuk anaknya. Danu menegak air putih yang diberikan untuknya seperti berbulan-bulan tidak minum, “Leganya. Iya, ini kunjungan mendadak, bilang ke Agung jangan dipikirkan, toh aku juga baru memberi kabar kemarin padamu”

                “Mas Danu baru banget datang berarti? Sudah makan?”

                “Seperti biasa kamu selalu begitu, seperti Mama. Sebenarnya sudah dari siang tadi aku sampai di Jakarta. Tapi harus mengantar pesanan, lalu..” Danu terdiam dan kembali berbicara “tadi sempat mampir ke makam Mama” perasaan sedih kembali menyergapnya, namun dia alihkan dengan mengajak si kecil Rosa bermain sementara ibunya sedang mengeluarkan makanan cepat saji dari dalam lemari pendingin. Sebuah wajan penggorengan sudah dipanaskan dengan minyak di dalamnya,

                “ Sudah lama Mas Danu nggak pulang. Kali ini lama kan?”

                “Yah, seminggu kayaknya, lusa ada acara yang akan aku hadiri”

                “Acara apa, Mas?”

                “Pembukaan restoran. Restoran Golden Lotus…..” Danu masih memikirkan beberapa kalimat yang sesuai, karena dia tidak tahu bagaimana reaksi adiknya ketika mendengarnya “Restoran baru, milik Miranda..Miranda Santoso”

                Nita mengerenyit, “Miranda? Miranda yang itu?”

                “Menurutmu siapa lagi, Nit?”


Pembicaraan mereka terhenti karena bunyi pagar rumah yang berderit keras diiringi suara deru mobil yang masuk ke dalam garasi. Rosa, si kecil, langsung bergegas menuju pintu dan menyambut siapa yang datang. Tidak perlu seorang peramal hebat, karena Danu sendiri tahu itu pasti ayahnya yang baru saja pulang. 

Rabu, 30 Maret 2016

Bab 4-3

Terpisah sejauh 550 kilometer dari tempat tinggalnya, Danu sedikit bingung bagaimana  mereka berdua dapat duduk di kedai kopi di kawasan perkantoran elit Sudirman saat ini. Pertemuannya dengan Miranda sangat membuatnya terkejut, tapi itu juga salah satu kesalahannya tidak mencari informasi lebih lanjut mengenai perusahaan ini. Seharusnya ketika dia melihat logo di kartu nama Adi Perdana yang ditunjukan kepadanya, dia bisa mengingat jelas di mana dia melihatnya. Kenapa dia bisa lupa dengan nama keluarga ‘Santoso’, jika dia melihat kedua hal tersebut berbarengan pada karangan bunga ucapan yang berjajar di sepanjang gedung pernikahannya tujuh tahun yang lalu?

Danu melihat Miranda dalam balutan blazer kasual  bewarna hitam, tidak ada kerutan di wajahnya, tersamar dengan baik dalam balutan concealer. Sejak dahulu Miranda memang pintar berdandan, hampir tidak ada kenangan tentangnya dalam keadaan berantakan sama sekali. ‘Aku malu Dan, kalau ketemu orang lain tanpa terlihat cantik’ ucapnya kala itu, sejujurnya baik dengan make up ataupun tidak sama sekali, Miranda tetap menawan.

                “Sudah lama ya…Dan” kata-kata keluar dari mulut perempuan yang duduk di hadapannya, memutus tali kilasan masa lalu di alam bawah sadarnya

                “Ya, cukup lama” jawabnya singkat sembari mengaduk satu satchet gula ke dalam kopinya, “Bagaimana kabarmu?”

                “Baik” Miranda mengangkat sedikit bahunya  “Seperti yang kamu lihat. Seperti ini sekarang diriku. Kalau kamu?”

                Danu tersenyum getir, “Baik” jawabnya dan mulai menyeruput kopi pesanannya perlahan,”Bisnis baru?”

                “Iya” Miranda kali menatap Danu dengan seksama,”Aku mendengar apa yang terjadi pada karyawan Henry. Dia terbunuh di kota tempat tinggalmu, bukan?”

                “Ah, kamu tahu juga tentang itu”

                Miranda mengangguk,”Aku memang menyuruhnya mencari berbagai macam dekorasi untuk restoran yang akan dibuka lusa. Ternyata tidak kusangka, dia bakalan meminta bantuanmu”

                “Mungkin seharusnya aku tolak saja waktu itu”

                Miranda tersentak,”Apa jika kamu tahu ini pesanan dariku, kamu akan melakukanya?”

                “Entahlah” Danu memalingkan wajahnya ke arah jendela, dia dapat melihat lalu lalang kendaraan dari seberang jalan. Jakarta sudah banyak berubah, kali ini dia melihat sebuah proyek berada di tengah jalanan kota ini, mereka berencana membuat Light Rail Transit seperti yang selalu diberitakan oleh media. Lalu lalang karyawan perkantoran daerah sini mungkin yang selalu sama dari masa ke masa. “Aku juga tidak terlalu menanyakan detail pemesannya pada Mas Adi saat itu. Mungkin jika aku tolak dia masih hidup, dan tidak berakhir dengan cara seperti itu. Mungkin jika aku tolak, aku juga tidak akan datang kembali ke Jakarta” kali ini Danu menatap Miranda lagi “Banyak kemungkinan yang akan terjadi”

                “ Sampai kapan kamu di sini, Dan?” tanya Miranda kepadanya

                “Minggu depan pulang” jawabnya singkat

                “Lusa, jika kau tidak keberatan, apa kamu mau datang ke pembukaan restoranku?” Miranda bertanya dengan nada lirih, ada sedikit harapan dalam pertanyaan yang dia ajukan. Bagaimanapun Danu masih mempunyai jangkar yang kuat dalam dirinya, dan dia yakin Danu juga berpikir hal yang sama “Setidaknya, kamu bisa datang demi pertemanan kita, Dan?”

                Danu menghela nafasnya, “Akan aku usahakan. Aku harus pergi sekarang, ada tempat yang harus aku kunjungi” Danu berdiri diikuti Miranda yang bergegas mengambil tas tangan miliknya, namun Danu menghentikan wanita tersebut dengan tangannya “Biar aku yang bayar, Mir. Sampai jumpa”

Miranda Santoso hanya bisa terdiam memandangi punggung Danu yang beranjak pergi, matanya mengikuti dengan sedih langkah demi langkah pria tersebut berlalu dari hadapannya. Dia menggigit bibirnya perlahan, kemudian duduk kembali di atas sofa cafĂ© yang nyaman.  


Senin, 28 Maret 2016

Bab 4 - 2

Prabu tidak membantah, maupun mengiyakan ucapan atasannya. Jika atasannya mengatakan ada kejanggalan di TKP, pastilah ada alasannya, akhirnya dia memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan, yang mungkin sifatnya retoris belaka, “Maksud, Bapak?”

Bripka Arifin menunjuk arah pintu, “Pintu tidak didobrak paksa, tidak ada tanda-tanda pengrusakan, artinya korban mengenal pelaku. Bisa jadi korban sendiri yang mengajaknya masuk, atau mereka sudah janji bertemu. Lalu..” kali ini Bripka Arifin mengasosiasikan dirinya dengan korban untuk mereka kejadian yang menurut dia terjadi pada malam pembunuhan, “Jika kamu menerima tamu, apa yang kamu lakukan?”

                “Saya akan membuka pintunya, melihat siapa yang datang, lalu mempersilahkannya masuk”

                “Betul sekali. Pasti ketika dia melihat tamu yang datang, dia akan menyuruhnya masuk, tepat di sini…” Bripka Arifin kini berada di sisi tempat korban ditemukan tewas, telunjuknya digerakan tanpa henti “Di sini dia mungkin berbincang dengan pelaku selama beberapa saat. Kemungkinan dia berbalik, di saat itu pelaku menjeratnya dengan tali. Lihat ini” Bripka Arifin berjongkok pada sisi tempat tidur dari kayu “kamu lihat itu?”

Prabu memincingkan matanya, berusaha mendapatkan imej yang ditunjuk oleh atasannya, samar-samar ada sedikit bagian yang mengelupas seperti garis tipis. Panjangnya tidak rata, tapi ini goresan yang dilakukan dengan sekuat tenaga. Kayu tempat tidur ini tidak mudah tergurat kecuali ada tekanan pada lapisannya  “Ada..sedikit guratan. Bekas cakaran”

                “Mungkin itu dari cakaran kuku korban yang berusaha melepaskan diri.” Bripka Arifin berdiri lalu menepuk-nepuk bagian belakang celananya “ Karena korban berontak, pelaku lalu menusuknya dengan cepat dengan maksud melumpuhkan dia” paparnya sambil mengusap ujung hidungnya “Luka cekik biasanya didapat akibat dendam bersifat pribadi. Pelaku pasti sudah lama menyimpan dendam pada korban. Motifnya harus sangat kuat, sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidup korban dan menikmati perbuatannya sampai nyawa korban melayang.”

                “Apakah pelaku kalah tenaga dari korban, sehingga perlu menusuknya?”

                “Kemungkinan itu ada. Lalu bagaimana dengan hasil forensik mengenai waktu kematian korban?”

                “Dari kekakuan tubuhnya, korban diperkirakan telah meniggal dua jam sebelum ditemukan. Artinya, sekitar pukul sepuluh malam sebelum penjaga penginapan menemukannya”

Bripka Arifin mengangguk, jam sepuluh malam. Namun, Sofyan sendiri mengatakan tidak ada yang berkunjung malam itu kecuali paangan selingkuh yang tidak sengaja terlibat dalam kasus ini. Pergantian shift dia dengan saudaranya pada pukul delapan, apakah mungkin ada jeda di saat itu dan digunakan pelaku untuk menyusup masuk? “Prabu, kita perlu meminta keterangan dari penjaga penginapan satunya lagi. Rukmini. Jika pintu masuk penginapan ini hanya ada satu, maka kita perlu mendapatkan keterangannya apakah dia yakin tidak melihat seseorang menyelinap ketika pergantian waktu jaga?”

                “Ibu Rukmini saat ini ada di penginapan, Pak. Apa kita akan meminta kesaksiannya sekarang?”

                “Ya, segera kita minta kesaksiannya”

Mereka menuruni tangga dan menuju meja penerima tamu. Tampak wanita paruh baya, usianya sekitar tiga puluhan, dia mengenakan kemeja cokelat bermotif bunga dipadukan dengan rok terusan bewarna cokelat muda. Sesuai dengan kemeja yang dia pakai saat itu. Setelah Prabu mengatakan padanya bahwa mereka perlu meminta keterangan darinya, raut wajahnya berubah. Dia mengiikuti kedua polisi itu duduk di sofa tua yang ada di dekat meja penerima tamu.

                “Ibu Rukmini,” papar Bripka Arifin hati-hati, “Apakah betul anda bertukar waktu jaga dengan Sofyan pada pukul delapan malam?”

                “Iya, Pak” jawabnya pelan

                “Saat korban ditemukan tewas, apakah anda juga berganti jaga di waktu yang sama?”

                “Hampir setiap hari seperti itu, Pak. Kadang-kadang saya menemaninya sampai jam sembilan malam, waktu Bapak Adi meninggal juga saya baru istirahat jam segitu”

                “Apakah tidak ada orang yang mencurigakan saat itu?”

                “Tidak ada, Pak. Saya pulang setelah suami saya menjemput dari tempat kerjanya.”

                “Dia tidak satu tempat dengan Ibu?”


                “Tidak, Pak. Suami saya jualan di Pasar, biasanya malam setelah dagangannya cukup laris banyak, dia tutup tokonya jam delapan, lalu jemput saya. Jujur Pak, setelah kasus ini saya bingung penginapan saya akan bagaimana kelanjutannya” kali ini Rukmini hanya bisa berkata miris, kasus pembunuhan di penginapannya akan membuat tempat ini sulit mendapatkan tamu “Besok malam saya akan adakan pengajian di sini, supaya nggak ada kejadian aneh lagi di sini” ujarnya lirih seraya mengakhiri sesi introgasi padanya