Minggu, 10 April 2016

Bab 6

Dengan tertatih-tatih Danu mengangkat sebuah kanvas berukuran besar dari gudang menuju halaman belakang. Kemarin dia membereskan semua perlatan seninya di rumah ini, dan lukisan Miranda yang tidak sempat dia selesaikan sejak bertahun-tahun lalu termasuk ke dalam barang yang akan dia singkirkan. Setelah semua menumpuk di halaman belakang, dia mulai menyalakan api. Tidak cukup sulit, karena sebagian besar barang-barang ini terdiri dari cat minyak yang mudah sekali terbakar.

Api mulai menyeruak, meletup-letup kecil dan menjalar perlahan seiring memakan seluruh kenangan Danu terhadap Miranda. Dalam hati kecilnya dia cukup miris, di tengah udara Jakarta yang panas, dan lapisan atsmosfernya sudah berlubang di sana sini, dia membebani kota ini dengan asap kenangannya.Walaupun begitu, dia akan menghadiri peresmian restorannya yang terbaru, bukan sebagai teman ataupun bekas teman, melainkan sebagai kolega bisnis, seperti yang dia putuskan. Masih ada waktu tiga jam lagi untuk bersiap-siap, Nita juga sudah menyiapkan makan pagi untuknya sebelum berangkat mengantar anaknya, sementara ayahnya masih mengurung diri di kamar. Nita pernah menyinggung kebiasaan ayahnya yang baru ini ‘Mas, sekarang Ayah kalau nggak pergi kemana-mana nyaris tidak pernah keluar kamar, kalau kupanggil hanya menyahut setelah itu seperti tidak ada apa-apa’ , yah, dia merasakan kekhawatiran adiknya itu, tapi berbicara dengan ayahnya tidak semudah yang dipikirkan olehnya. Masih ada tembok pembatas antara dia dan ayahnya, yang sangat sulit untuk dia robohkan dengan satu pukulan.

Danu meninggalkan kanvas yang terbakar, dan beranjak menuju ruang makan. Dia mengambil sehelai roti tawar dan mulai memakannya. Teleponnya sedari tadi begetar karena bunyi pesan, ada tiga pangilan tidak terjawab, dan lima pesan singkat. Sangat aneh baginya menerima pesan sebanyak ini, selain iklan operator telepon yang menawarkan premium call ataupun tips-tips percintaan dari majalah picisan. Sambil memindahkan saluran televisi, Danu mengamati satu per satu panggilan masuk dan pesan singkat ke dalam ponselnya. Satu pesan cukup membuat dia mengerrenyit dan terkejut, ditambah dengan isi dari pesan tersebut.

‘Selamat Pagi Bapak Danu, saya Arifin. Saya minta nomor telepon ini dari pembantu anda, sedari tadi saya mencoba menghubungi tapi tidak ada jawaban. Apa Mas Danu masih di Jakarta? Ada yang perlu saya tanyakan segera. Terimakasih”

Bripka Arifin menghubunginya, dan panggilan masuknya datang dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama. Dia melihat ke arah saluran teleisi, bersamaan dengan suara pintu kamar ayahnya yang terbuka. Ayahnya masih menggunakan celana bokser kebesaran dengan motif cokelat muda kotak-kotak. Agak kontras dengan tubuhnya yang kurus, membuatnya terlihat tenggelam dalam pakaian itu. Kacamata bacanya terlihat longgar, dan dia menuju lemari pendingin, mencoba mencari sesuatu yang bisa diminum. Nita selalu menyediakan jus buah segar, baik yang dia buat sendiri atau yang sudah terkemas dalam karton minuman.  

                “Kalau jus, ada di sini, Pah” Danu mengangkat sebuah pitcher dengan air bewarna kuning segar, dan menunjukan pada ayahnya. Canggung, tapi melihat ayahnya yang sudah terbilang memasuki usia senja, tidak ada salahnya dia mencairkan suasana.
Ayahnya hanya mendongak, tanpa suara dia menghampiri Danu yang sudah duduk di kursi sembari memegang gelas minuman dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk melihat ponsel pintarnya.

                “Tolong isikan punya Papa” jawab ayahnya

Danu tertegun, lalu mengambil segelas cangkir dan menuangkan jus jeruk ke dalamnya. Sudah lama dia tidak berbicara seperti ini dengan ayahnya, bahkan ini adalah percakapan normal yang mereka miliki setelah lebih dari satu dasawarsa.


                “Segini cukup?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan ayahnya yang sedang membolak balik Koran terbaru hari ini. Satu hal menarik perhatian Danu, headline surat kabar itu. Dia menoleh kea rah televisi yang menapilkan berita khusus Ibukota pagi ini dan hampir tersedak dengan air liurnya sendiri. Tulisannya cukup jelas, dan kentara “DIREKTUR PERUSAHAAN RETAIL, HENRY SANTOSO, TEWAS TERJATUH”

Tidak ada komentar: