Selasa, 05 April 2016

Bab 5-3


Berkutat di depan komputer bersama dengan setumpuk data untuk kegiatan esok hari bukanlah lembur yang menyenangkan. Bagi Daniel, kematian Adi membuatnya mendapatkan banyak pekerjaan yang sangat sulit dia lakukan sendiri. Peresmian unit usaha kuliner milik istri atasannya dalam hitungan jam, dia sudah menugaskan dua orang dari timnya untuk mengecek kelengkapan di lokasi, sementara dia merapihkan adimistrasi di kantor, seharusnya saat ini dia bisa bersantai di sebuah bistro daerah Kemang bersama kawan-kawannya , mencari perempuan untuk diajak kenalan, jika beruntung mungkin bisa berlanjut hingga tengah malam.

Bisa saja dia menolak, tapi Ibu Miranda bukan wanita bodoh seperti atasan wanitanya yang lain. Dibalik sikapnya yang tenang dan elegan, terkadang Daniel merasakan karakter tangan besinya dalam urusan bisnis. Dia pernah mendapatkan omelan hampir seharian penuh karena salah mengkalkulasi perhitungan kerjasama dengan salah satu bank besar di sini. Hanya orang bodoh yang tidak mau belajar dari pengalaman, dan dia tidak mau termasuk ke dalam salah satunya.

Beberapa lampu meja mulai dimatikan, petugas kebersihan juga sudah selesai mengepel lantai ruangan ini. Minum kopi sejenak mungkin bisa melepaskan rasa lelah, gumamnya dalam hati. Dengan langkah berat Daniel beranjak dari kursinya, membawa cangkir yang selalu ada di atas mejanya, dia menuju ruang pantry. Jam di dinding kantor menunjukan jam delapan lewat sepuluh, sudah lewat tiga jam dari waktu pulang normalnya. Dengan malas, Daniel membuka bungkus kopi satchet beraroma mocha dan menyeduhnya perlahan. Aroma kopi menyeruak dan membangkitkan instingnya untuk merokok, namun dia harus keluar beranda untuk sekedar menyalakan pematik. Ada aturan jelas tentang larangan merokok di kantor ini, pencetusnya siapa lagi jika bukan para wanita yang risih dengan bau asap di dekat mereka, dan keinginan untuk merokok sudah tidak bisa diajak berkompromi, dia harus kembali ke ruangannya sejenak untuk mengambil satu bungkus candu itu.

Melewati dekat ruangan bossnya, Daniel dikejutkan oleh bunyi ‘ckrek’ pelan dari ruangan Herry Santoso. Rupanya Dina, sekretaris bossnya yang baru saja keluar. Mungkin dia  terkejut, sama halnya dengan dirinya yang mendapati karyawan lain yang masih berada di kantor selarut ini.

                “Lembur, Din?” sapa Daniel padanya, Dina hanya mengangguk.

                “Iya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pak Daniel belum pulang juga?”

                “Sama denganmu. Masih ada yang harus dikerjakan untuk besok”

                “Buat peresmian restoran itu ya?” tanya Dina padanya

                “Iya. Pesanan dari Ibu nih. Kamu mau pulang?” Daniel melihat Dina sudah mulai memasukan beberapa barangnya ke dalam tas.

                “I..iya. Sudah malam sih.”

                “Ya sudah biar aku antar deh.” Daniel memutuskan untuk pulang juga bersama dengan Dina, dia juga sudah merasa lelah saat ini, walau dia tidak terlalu dekat dengan sekretaris bossnya itu, tapi perempuan ini bisa menjadi alasan yang bagus jika dirinya ditanya mengapa dia pulang lebih cepat sementara dua orang anak buahnya masih berkutat dengan seremoni  esok hari?

                “Memangnya sudah selesai semua, Pak?”

                “Besok pagi sekali akan aku selesaikan. Sudah capai banget. Kamu tunggu sini ya, Din. Saya ambil tas saya lebih dulu”

Daniel hendak pergi ketika, Miranda Santoso datang dengan terburu-buru, suara sepatunya bagaikan tabuhan simbal di tengah ruangan yang hening ini, dan langsung masuk ke dalam ruangan suaminya. Dia dan Dina hanya saling pandang, sambil mengangkat bahu mereka.  Tidak lama terdengar suara gaduh dan ribut dari dalam ruangan Herry Santoso. Kadang-kadang, mereka memang selalu berselisih pendapat, dan tidak peduli apakah sedang di kantor sekalipun. Para karyawan sudah maklum akan hal tersebut, namun ketika badai itu reda mereka akan tampak seperti pasangan bahagia yang tidak pernah ada masalah.

                “Kenapa lagi, Din?” bisik Daniel pada Dina yang berada di sampingnya. Rasa ingin tahunya muncul begitu saja.

                “Entahlah, Pak. Kayaknya masalah anaknya, Shita.”

                “Pokoknya, kamu harus cepat pulang, Pih! Beri tahu anak gadismu, di mana dia harus menempatkan etika dan tata kramanya! Tidak sepantasnya dia melunjak di hadapanku, Miranda Santoso! ” usai menyerukan hal itu, Miranda Santoso membanting pintu ruangan suaminya dengan keras dan berlalu. Meninggalkan dua orang karyawannya yang masih menatapnya dengan melongo.

                “Sial!” terdengar umpatan dari dalam pintu, dan Herry keluar sambil berkacak pinggang. Melihat kearah dirinya dan Dina yang masih berada di depan pintu, suasana yang benar-benar tidak mengenakan. “Kalian masih di sini?” tegurnya dengan nada tinggi

                “Ka..kami sudah mau pulang, Pak.” jawab Daniel dengan terbata-bata, dia enggan terkena murka dari atasannya. Dina hanya menunduk, dan mengiyakan pelan

                “Hah! Dina kamu bantu saya sebentar”

                “Ta..tapi saya..” Dina melirik ke arah Daniel meminta bantuan dari rekan sekantornya itu

                “Kami tadinya mau pulang bersama, saya mau mengantarnya, Pak”

                Herry Santoso melihat arlojinya yang mengkilap, memang sudah larut, “kamu tunggu saja di parkiran, biarkan Dina membantu saya sebentar” kali ini Herry menurunkan nada suaranya. Daniel hanya mengiyakan, dan mengatakan pada Dina bahwa dia akan menunggu di parkiran mobil.

Benar saja parkiran pun sudah sepi, hanya dua orang satpam yang berjaga terlihat di posnya sambil menyaksikan tayangan televisi. Ada turnamen sepakbola, dan pastinya mereka membuat taruhan tentang klub mana yang akan keluar menjadi pemenangnya.

                “Pak Daniel!” lambai salah seorang satpam kepadanya “Belum pulang, Pak?”

                Daniel hanya tersenyum dan menyahut “Belum. Lembur!” setelah itu dia masuk ke dalam mobil, meletakan tas kerjanya di jok belakang dan menyalakan power mesinnya. Suara blower AC terdengar, seiring hawa dingin yang menerpa, dia menyalakan radio mencari lagu kesukaannya diputar di frekuensi tertenntu, dan benar saja dia menemukannya. Menunggu membosankan, tapi dengan kecanggihan dunia teknologi bernama telepon pintar, semua kebosanan bisa teratasi. Apalagi begitu banyak pesan yang masuk selama dia menyelesaikan pekerjaannya belum sempat dia balas satu persatu, itu cukup untuk membuat pikirannya teralihkan.

Setelah beberapa lama, Daniel melihat jam yang tertera di layar ponselnya. Sudah hampir empat puluh menit dia menunggu, rupanya lama juga dia menunggu Dina turun. Namun, ketika hendak menelepon sekretaris bossnya itu, ada yang mengetuk kaca mobilnya. Dina sudah datang sambil terengah-engah.

                “Pak Daniel, maaf sudah menunggu lama.”

                “Ya sudah, ayo masuk Din.” Daniel menatap Dina yang tampak berantakan. Pasi dia berlari menuruni tangga ketika turun. Elevator sudah dimatikan sejak pukul delapan oleh penjaga, jadi semua karyawan harus memakai tangga jika mereka terjeak dalam lemburan yang padat. “Ada air minum di belakang, jika kamu kehausan, Din. Minum saja, tidak apa-apa. Santai saja dulu. Habis berlari?”

                Dina menengok ke arah belakang, dia mendapati dua buah minman gelas yang amsih tertutup, dan mengambilnya “Eh? Iya.. tadi sedikit berlari. Ga enak sudah ditungguin, padahal Bapak pulang saja duluan”

                “Jangan, nggak baik perempuan pulang malam sendirian. Jakarta apalagi, bisa-bisa besok kamu dibegal orang bagaimana? Sudah ya? Kita berangkat” Daniel memasukan persenling mobilnya, dan bersiap untuk tancap gas, namun belum sepuluh meter dia beranjak sebuah benturan kencang terdengar di depan dashboard mobilnya.

Tertegun, tanpa bisa berkata-kata mereka berdua melihat sebuah tubuh menghantam kap depan mobilnya. Dina menjerit histeris, para satpam  bergegas menghampiri sambil berteriak. Daniel keluar segera dari mobilnya dan serasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tubuh atasannya, Herry santoso, jatuh terdampar di atas kap mobilnya. Berlumuran darah.


Tidak ada komentar: