Berkutat di depan komputer bersama
dengan setumpuk data untuk kegiatan esok hari bukanlah lembur yang
menyenangkan. Bagi Daniel, kematian Adi membuatnya mendapatkan banyak pekerjaan
yang sangat sulit dia lakukan sendiri. Peresmian unit usaha kuliner milik istri
atasannya dalam hitungan jam, dia sudah menugaskan dua orang dari timnya untuk mengecek
kelengkapan di lokasi, sementara dia merapihkan adimistrasi di kantor, seharusnya
saat ini dia bisa bersantai di sebuah bistro daerah Kemang bersama
kawan-kawannya , mencari perempuan untuk diajak kenalan, jika beruntung mungkin
bisa berlanjut hingga tengah malam.
Bisa saja dia menolak, tapi Ibu
Miranda bukan wanita bodoh seperti atasan wanitanya yang lain. Dibalik sikapnya
yang tenang dan elegan, terkadang Daniel merasakan karakter tangan besinya
dalam urusan bisnis. Dia pernah mendapatkan omelan hampir seharian penuh karena
salah mengkalkulasi perhitungan kerjasama dengan salah satu bank besar di sini.
Hanya orang bodoh yang tidak mau belajar dari pengalaman, dan dia tidak mau
termasuk ke dalam salah satunya.
Beberapa lampu meja mulai
dimatikan, petugas kebersihan juga sudah selesai mengepel lantai ruangan ini. Minum
kopi sejenak mungkin bisa melepaskan rasa lelah, gumamnya dalam hati. Dengan langkah
berat Daniel beranjak dari kursinya, membawa cangkir yang selalu ada di atas
mejanya, dia menuju ruang pantry. Jam
di dinding kantor menunjukan jam delapan lewat sepuluh, sudah lewat tiga jam
dari waktu pulang normalnya. Dengan malas, Daniel membuka bungkus kopi satchet
beraroma mocha dan menyeduhnya perlahan. Aroma kopi menyeruak dan membangkitkan
instingnya untuk merokok, namun dia harus keluar beranda untuk sekedar
menyalakan pematik. Ada aturan jelas tentang larangan merokok di kantor ini,
pencetusnya siapa lagi jika bukan para wanita yang risih dengan bau asap di
dekat mereka, dan keinginan untuk merokok sudah tidak bisa diajak berkompromi,
dia harus kembali ke ruangannya sejenak untuk mengambil satu bungkus candu itu.
Melewati dekat ruangan bossnya,
Daniel dikejutkan oleh bunyi ‘ckrek’ pelan dari ruangan Herry Santoso. Rupanya Dina,
sekretaris bossnya yang baru saja keluar. Mungkin dia terkejut, sama halnya dengan dirinya yang
mendapati karyawan lain yang masih berada di kantor selarut ini.
“Lembur,
Din?” sapa Daniel padanya, Dina hanya mengangguk.
“Iya
masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pak Daniel belum pulang juga?”
“Sama
denganmu. Masih ada yang harus dikerjakan untuk besok”
“Buat
peresmian restoran itu ya?” tanya Dina padanya
“Iya.
Pesanan dari Ibu nih. Kamu mau pulang?” Daniel melihat Dina sudah mulai
memasukan beberapa barangnya ke dalam tas.
“I..iya.
Sudah malam sih.”
“Ya
sudah biar aku antar deh.” Daniel memutuskan untuk pulang juga bersama dengan
Dina, dia juga sudah merasa lelah saat ini, walau dia tidak terlalu dekat
dengan sekretaris bossnya itu, tapi perempuan ini bisa menjadi alasan yang
bagus jika dirinya ditanya mengapa dia pulang lebih cepat sementara dua orang
anak buahnya masih berkutat dengan seremoni esok hari?
“Memangnya
sudah selesai semua, Pak?”
“Besok
pagi sekali akan aku selesaikan. Sudah capai banget. Kamu tunggu sini ya, Din. Saya
ambil tas saya lebih dulu”
Daniel hendak pergi ketika, Miranda
Santoso datang dengan terburu-buru, suara sepatunya bagaikan tabuhan simbal di
tengah ruangan yang hening ini, dan langsung masuk ke dalam ruangan suaminya.
Dia dan Dina hanya saling pandang, sambil mengangkat bahu mereka. Tidak lama terdengar suara gaduh dan ribut dari
dalam ruangan Herry Santoso. Kadang-kadang, mereka memang selalu berselisih
pendapat, dan tidak peduli apakah sedang di kantor sekalipun. Para karyawan sudah
maklum akan hal tersebut, namun ketika badai itu reda mereka akan tampak
seperti pasangan bahagia yang tidak pernah ada masalah.
“Kenapa
lagi, Din?” bisik Daniel pada Dina yang berada di sampingnya. Rasa ingin
tahunya muncul begitu saja.
“Entahlah,
Pak. Kayaknya masalah anaknya, Shita.”
“Pokoknya,
kamu harus cepat pulang, Pih! Beri tahu anak gadismu, di mana dia harus menempatkan
etika dan tata kramanya! Tidak sepantasnya dia melunjak di hadapanku, Miranda
Santoso! ” usai menyerukan hal itu, Miranda Santoso membanting pintu ruangan
suaminya dengan keras dan berlalu. Meninggalkan dua orang karyawannya yang
masih menatapnya dengan melongo.
“Sial!”
terdengar umpatan dari dalam pintu, dan Herry keluar sambil berkacak pinggang. Melihat
kearah dirinya dan Dina yang masih berada di depan pintu, suasana yang
benar-benar tidak mengenakan. “Kalian masih di sini?” tegurnya dengan nada
tinggi
“Ka..kami
sudah mau pulang, Pak.” jawab Daniel dengan terbata-bata, dia enggan terkena
murka dari atasannya. Dina hanya menunduk, dan mengiyakan pelan
“Hah!
Dina kamu bantu saya sebentar”
“Ta..tapi
saya..” Dina melirik ke arah Daniel meminta bantuan dari rekan sekantornya itu
“Kami
tadinya mau pulang bersama, saya mau mengantarnya, Pak”
Herry
Santoso melihat arlojinya yang mengkilap, memang sudah larut, “kamu tunggu saja
di parkiran, biarkan Dina membantu saya sebentar” kali ini Herry menurunkan
nada suaranya. Daniel hanya mengiyakan, dan mengatakan pada Dina bahwa dia akan
menunggu di parkiran mobil.
Benar saja parkiran pun sudah
sepi, hanya dua orang satpam yang berjaga terlihat di posnya sambil menyaksikan
tayangan televisi. Ada turnamen sepakbola, dan pastinya mereka membuat taruhan
tentang klub mana yang akan keluar menjadi pemenangnya.
“Pak
Daniel!” lambai salah seorang satpam kepadanya “Belum pulang, Pak?”
Daniel
hanya tersenyum dan menyahut “Belum. Lembur!” setelah itu dia masuk ke dalam mobil,
meletakan tas kerjanya di jok belakang dan menyalakan power mesinnya. Suara blower
AC terdengar, seiring hawa dingin
yang menerpa, dia menyalakan radio mencari lagu kesukaannya diputar di
frekuensi tertenntu, dan benar saja dia menemukannya. Menunggu membosankan,
tapi dengan kecanggihan dunia teknologi bernama telepon pintar, semua kebosanan
bisa teratasi. Apalagi begitu banyak pesan yang masuk selama dia menyelesaikan
pekerjaannya belum sempat dia balas satu persatu, itu cukup untuk membuat
pikirannya teralihkan.
Setelah beberapa lama, Daniel
melihat jam yang tertera di layar ponselnya. Sudah hampir empat puluh menit dia
menunggu, rupanya lama juga dia menunggu Dina turun. Namun, ketika hendak
menelepon sekretaris bossnya itu, ada yang mengetuk kaca mobilnya. Dina sudah
datang sambil terengah-engah.
“Pak
Daniel, maaf sudah menunggu lama.”
“Ya
sudah, ayo masuk Din.” Daniel menatap Dina yang tampak berantakan. Pasi dia
berlari menuruni tangga ketika turun. Elevator sudah dimatikan sejak pukul
delapan oleh penjaga, jadi semua karyawan harus memakai tangga jika mereka
terjeak dalam lemburan yang padat. “Ada air minum di belakang, jika kamu
kehausan, Din. Minum saja, tidak apa-apa. Santai saja dulu. Habis berlari?”
Dina
menengok ke arah belakang, dia mendapati dua buah minman gelas yang amsih
tertutup, dan mengambilnya “Eh? Iya.. tadi sedikit berlari. Ga enak sudah
ditungguin, padahal Bapak pulang saja duluan”
“Jangan,
nggak baik perempuan pulang malam sendirian. Jakarta apalagi, bisa-bisa besok
kamu dibegal orang bagaimana? Sudah ya? Kita berangkat” Daniel memasukan
persenling mobilnya, dan bersiap untuk tancap gas, namun belum sepuluh meter
dia beranjak sebuah benturan kencang terdengar di depan dashboard mobilnya.
Tertegun, tanpa bisa berkata-kata
mereka berdua melihat sebuah tubuh menghantam kap depan mobilnya. Dina menjerit
histeris, para satpam bergegas
menghampiri sambil berteriak. Daniel keluar segera dari mobilnya dan serasa
tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tubuh atasannya, Herry santoso, jatuh terdampar
di atas kap mobilnya. Berlumuran darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar