Minggu, 17 April 2016

Bab 6-2

Dina menggenggam erat tas kerjanya yang bewarna putih gading dengan sekuat tenaga, pemandangan yang dia saksikan bersama koleganya seakan terjadi secepat kilat, tanpa jeda. Jika ini sebuah rekaman decoder pastilah dia bisa menghentikannya sejenak, tapi ini kenyataan yang membuat tenggorokannya tercekat. Dia hendak pulang saat tubuh Henry Santoso terjun bebas dan menghantam mobil Daniel yang ditumpangi oleh mereka berdua. Arloji di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam, dan tidak ada tanda-tanda dia bisa segera pulang setelah raungan suara sirine serta mobil ambulance berada di sini untuk mengevakuasi jenazah bossnya tersebut.

Dia melirik Daniel yang sedang merenggut-renggut rambutnya, petugas sedang menanyai dia, dan sejumlah saksi mata saat kejadian terjadi. Garis kuning polisi sudah terpasang, dan Dina hanya bisa melongo tidak mampu berkata-kata. Dadanya bergemuruh, entah dia harus sedih, senang atau kecewa. Dalam lamunannya Dina kemudian menyadari sebuah mobil mewah buatan pabrikan Jerman bewarna biru dongker masuk ke dalam area parkir, pintunya terbuka dengan cepat, dan dari pintu belakang penumpangnya langsung keluar tanpa menutupnya kembali. Ah, dia istri bossnya. Tentu saja dia akan datang dengan muka panik mengetahui hal ini.

                “Suami saya. Suami saya, Pak!!” ratap Miranda dengan histeris, tatanan rambutnya masih sama seperti terakhir kali dia melihatnya meninggalkan kantor malam itu. Namun, riasan make upnya luntur akibat air mata membuat wajahnya pucat.

Satu per satu mobil berdatangan ke area ini, membuat petugas kewalahan untuk mengantisipasi raungan dari orang-orang terdekat Henry Santoso

                “PAPA!” teriak Harshinta sembari berlari menuju garis polisi, namun segera dihadang oleh dua orang petugas yang sedang berjaga di dekatnya. “Papa! Papa!” serunya berulang-ulang, seorang polisi wanita bergegas mendatanginya agar Harshinta dapat tenang dan tidak menghalangi proses penydidikan

                “Dina!” panggil Daniel padanya, mengeyahkan pandangannya dari adegan dua orang yang selalu berselisih paham, tapi bisa menjadi satu dalam kejadian tragis seperti ini “Saya bersama Dina, sekretaris Pak Henry saat kejadian itu. Bapak dapat mengkonfrotir keterangan saya padanya, juga pada satpam yang bertugas”

                Petugas itu melirik Dina, dan mulai bertanya padanya “Apakah benar, Bapak Daniel, dan Ibu berada di dalam mobil saat kejadian?”

Dina mengangguk, “Be..benar, Pak”

                “Bisa dijelaskan, apa saja yang anda dan Bapak Daniel saat itu lakukan, sehingga harus pulang larut di hari naas ini?”

                Dina menelan ludahnya, dan mulai berbicara “Kami ..lembur” sejenak dia menatap Daniel, dan Daniel seolah merespon dengan anggukannya. “Ada pekerjaan untuk perjanjian jual beli yang harus diselesaikan besok, jadi saya mengurusnya. Kebetulan Pak Daniel juga sama masih ada di kanotr, dan kami janji untuk pulang bersama”

                “Apakah kalian berdua punya hubungan khusus?”

                 Dina sontak menggerakan kedua tangannya “Tidak, Pak! Kami hanya rekan kerja”

                “Iya, saya harus menyiapkan pembukaan restoran baru punya Ibu Miranda besok, jadi ada pekerjaan yang harus saya selesaikan mala mini. Kami rekan kerja, Pak. Saya hanya berinisiatif mengantarnya pulang, akrena hari sudah malam”

                “Lalu, apa yang terjadi? Pukul berapa Anda, kalian berdua maksud saya, keluar dari kantor?” tanya petugas tersebut sambil mencatat keterangan dari mereka berdua dengan detail

                “Sekitar jam delapan lewat, saya ingat waktu itu saya masuk ke dalam mobil saat ada pertandingan sepakbola di ruangan satpam berjaga. Kira-kira sekitar jam setengah Sembilan sepertinya”

                “Anda juga, Ibu Dina?”

                “Eh, ng, saya menyusul Pak Daniel. Pak Henry meminta saya membantunya, jadi saya baru turun setelah jam sembilan lewat.”

                “Ah, benar Pak. Dina menyusul saya, setelah yah, lima atau sepuluh menit baru saya menyalakan mobil. Dan saat itu… Pak Henry terjatuh”

                “Maaf, Pak,” suara seorang wanita menyela sesi introgasi mereka, Miranda mulai menanyakan tentang suaminya pada petugas yang menanyai mereka “Apa yang terjadi, dengan suami saya?” suaranya terdengar tercekik pelan. Air mata tidak henti-hentinya mengalir dari bola matanya yang indah.

                “Begini..maaf, biar bagian forensik dan atasan saya yang akan menjelaskannya pada, Ibu. Silahkan ibu tunggu sebentar, akan saya panggilkan.”

                “Saya butuh penjelasannya, Pak. Siapa yang melakukannya? Mengapa suami saya yang harus menjadi korbannya?”

                “Ibu, saya mohon Ibu tenang dulu. Biarkan kami para petugas melakukan pekerjaannya” tapi tidak lama setelah itu seorang petugas forensik datang bersama dengan seorang pria berjaket kulit hitam.

                “Ibu Miranda. Saya Sofyan, dari unit reserse kriminal. Kami turut berduka cita, bahwa suami anda Henry Santoso, tewas terjatuh dari lantai dua. Perlu saya sampaikan, apakah tadi Anda datang kemari?”

                Miranda terkulai lemas ke tanah, dari belakang seorang polwan terpogoh-pogoh membantunya berdiri kembali, “Benar. Saya datang, namun malah saya bertengkar dengannya” Miranda mengatakannya sambil terisak lirih

                “Bertengkar?” tanya Bripka Sofyan padanya

                Miranda mengangguk, “Saya marah padanya, karena sikap putri kami. Setelah itu saya pergi”

                “Lapor, Pak! Saya telah memastikan kamera pengawas, memang benar Ibu Miranda datang, tapi dia pergi kembali tidak lama setelahnya “ ujar salah seorang petugas

                “Jika anda bertengkar, jika begitu…maaf saya harus tanyakan hal ini pada Anda, mengapa bisa ditemukan bekas sperma pada pakaian korban? Apakah Ibu melakukan hubungan dengan korban saat itu?”

                Miranda melonggo, dan menggeleng “Saya ..tidak….” sedikit bingung, tapi tidak lama dia menoleh ke arah sekretaris suaminya yang berdiri tidak jauh dari mereka, “Apa kamu…… Dina?” tanyanya pelan namun menusuk dan dingin

                Mata semua orang menuju pada arah Dina yang berubah pucat pasi. Miranda bangkit, lalu berusaha mencengkram kerah bajunya, untung petugas dengan sigap menghentikan wanita tersebut.”Apa kamu pembunuhnya?!” teriak Miranda

                Dina mulai menangis, dan histeris “Tidak! Tidak! Bukan saya, sungguh pelakunya bukan Saya, Pak!”

                Bripka Sofyan menghela nafas, tampaknya ini lebih rumit dari kasus pembunuhan biasa, “Ibu Dina, sekali lagi saya tanyakan pada anda, apa yang anda lakukan di malam Henry Santoso tewas?”

                “Kamu kira, saya tidak tahu Dina?! Saya tahu, saya tahu! Kamu dan suami saya….” Miranda kembali berteriak dan menangis

                “Apakah benar apa yang dikataan olehnya? Bripka Sofyan mepertegas pertanyaannya

                “Saya..saya tidak membunuhnya….tapi, saya memang mencitainya, Pak!” Dina menutup mukanya dan membiarkan air mata mengalir bersama rasa penat di dadanya. Malam semakin dingin, seperti tubuh Henry Santoso yang sudah mulai mendingin, terbujur kaku dalam kantung hitam yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berteriak.

Tidak ada komentar: