Bab 1
Suara pahatan kayu bergema dari
dalam studio yang hanya berukuran sepuluh meter persegi, dengan jendela terbuat
dari kayu jati kokoh terbuka lebar membiarkan hembusan angin memainkan tirainya
dengan perlahan. Sinar matahari menyambangi sudut ruangan dengan ramah, seakan
menjadi lentera bagi orang yang sedang
larut dalam dunianya. Irama
pahatannya merdu, entah sudah terbiasa atau memang irama ini yang selalu
terdengar dari rumah ini. Sorot matanya tajam menatap detail pahatan yang
sedang dikerjakan, sebuah ukiran Panglima Guan Yu, pesanan seorang konglomerat
dari Jakarta yang sudah tiga bulan ini dikerjakannya. Ada tekstur yang dirasa
masih kurang, belum mendekati imajinasinya, dia mengharapkan kesan gagah namun
welas asih bisa terpatri dalam pahatan wajah Guan Yu ini. Menurut legenda, dia
salah seorang Jenderal tersohor di Zaman Tiga Negara, dan dengan latar belakang
seorang rakyat jelata, maka kesan garang penuh kekuatan dirasa tidak terlalu
pas dengannya. Sebaliknya, bersahaja namun penuh pemikiran yang dalam.
Dengan tangannya yang kokoh,
Danu, mulai mengamplas beberapa bagian. Sesekali dia bisa mendengar deru
kendaraan melaju pelan di jalanan depan studionya. Sudah hampir tujuh tahun
lamanya, Danu memilih menetap di kota kecil ini, tempat silsilah keluarga besarnya
berasal. Dalam kenyataannya dia sendiri
terlahir di kerasnya Ibukota lebih dari tiga dekade silam. Kepuasan batin,
keseimbangan jiwa dan raga memang menjadi prioritas dia ketika memilih
meninggalkan hiruk pikuk Ibukota. Walaupun masih banyak pertimbangan lainnya,
tapi toh alasan ingin menekuni hobi dan keahliannya, sudah cukup untuk membuat
Danu meninggalkan semuanya.
Danu memandangi pahatan Guan Yu di
depannya, keringat yang bermunculan segera Ia seka dengan handuk kecil di bahunya.
Ketika dulu dia mengambil jurusan Seni, Ayahnya sempat menentang dengan keras.
Seniman tidak menghasilkan apapun, ‘
Memangnya kamu bisa hidup enak dengan kayu dan pahatan?’ begitu wejangan
sang Ayah yang selalu dia ingat. Tetapi idealisme adalah kiblat bagi darah
remaja Danu saat itu, dan sebuah ‘tanda mata’ di pipi adalah hasil yang dia
dapat dari perbedaan pendapatnya dengan sang Ayah. Selanjutnya seperti kisah
tahun `80an yang sempat terkenal, Danu remaja hidup bebas, mengikuti jiwa seninya, mengembara mencari
jati diri, namun tak jarang identitasnya dipertanyakan seperti Van Gogh. Lamunan
Danu buyar seketika, ketika ketukan kecil terdengar dari pintu studionya, dia
mengenali suara yang memanggilnya
“Den Danu” sudah berapa kali Danu
ingatkan agar Mbok Nem tidak usah memanggilnya dengan sebutan ‘Den”. Rasanya
dipanggil dengan bentuk penghormatan seperti itu membuat dirinya kikuk, tapi
hal seperti itu sudah merupakan hal yang mendarah daging bagi penduduk di
sekitar sini tampaknya. Akhirnya dia menyerah memberitahu Mbok Nem agar tidak
memanggilnya seperti itu, biarkan saja pikirnya.
“Den
Danu..permisi si Mbok mengganggu” ulang Mbok Nem dari luar studionya. Danu
membuka pintu perlahan, agar cahaya matahari tidak langsung menyilaukan matanya
yang masih membiasakan diri.
“Ya,
Mbok? Ada apa?” matanya masih memincing, berusaha menghalangi sinar matahari
yang menyerbu masuk indra penglihatannya.
“Anu,
Den… itu ada tamu.” Mbok Nem berkata pelan, jemarinya tidak berhenti memainkan
kain jarik yang dikenakannya.
Biasanya itu pertanda jika dia sungkan, atau ada yang membuatnya gelisah.
“Tamu,
Mbok?” Danu mengerenyit heran, “Siapa? Rasanya hari ini saya tidak ada janji
bertemu orang.”
“Itu..ng...yang
pakai baju cokelat-cokelat, Pulisi, Den.” jawab Mbok nem ragu-ragu
“Pulisi? Oh,
Polisi maksud, Mbok?” Danu semakin heran
dengan perkataan Mbok Nem.
“I..iya, Den. Si
Mbok minta tunggu di luar dulu, soalnya mereka minta ketemu sama Den Danu”
“Ya sudah, suruh
mereka masuk dulu, Mbok. Saya ganti baju dulu, nanti saya temui mereka.”
“Baik, den.
Tapi…anu,Den. Den Danu nggak kenapa-kenapa kan? Si Mbok takut pas bapak-bapak
itu datang”
“Nggak,
Mbok Nem. Tenang saja. Sudah jangan biarkan tamu menunggu, Mbok. Saya akan
menysusul ke ruang tamu.”
Mbok Nem mengangguk lalu segera
pergi meninggalkan studio kerja Danu. Rumah utama dengan studionya memang
dibangun terpisah, karena Danu ingin fokus bekerja ketika memahat dalam ruangan
yang hanya dia tahu. Setelah asisten rumah tangganya pergi, Danu mengambil baju
yang tadi dia tanggalkan ketika memahat, dan mengenakannya kembali. Dia rasa, Para Polisi itu pasti
paham beratnya pekerjaan seorang pemahat seperti dirinya, walaupun kali ini dia
tidak tahu apa yang membuat abdi Negara itu datang ke rumahnya. Seingat dia,
urusan melanggar hukum terakhir yang dia
lakukan, adalah berputar di tikungan yang salah, itupun dapat diselesaikan
dengan satu salaman saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar