Rupanya sesuai perkataan Mbok Nem,
sudah ada dua orang Polisi menunggunya di ruang tamu, sementara seorang lagi
berdiri di beranda,dalam posisi yang sukar dia terjemahkan. Antara sedang bersiaga
atau memang sekedar santai, sembari menikmati pemandangan di luar. Di halaman
rumahnya memang tertata tanaman anggrek dan mawar yang sulurnya tertata apik,
diselingi oleh sebuah pohon Bougenville ungu. Mendiang Ibu Danu memang penyuka
anggrek, olehkarena itu dia selalu meminta Mbok Nem untuk merawat anggrek
kesayangan Ibunya, agar kenangan tentang wanita yang selalu mendukungnya tidak
pernah hilang dari ingatannya. Ketika Danu muncul, mereka berdua segera bangkit
dari tempat duduknya, dan segera memperkenalkan diri mereka.
“Selamat Siang,
Bapak Nicholas Danuwirya?!” kesan gagah dan tegas terasa dalam intonasinya.
Danu melihat badge nama yang dia kenakan, Arifin Wijaya. Rupanya bukan sembarang
orang yang dia temui hari ini, melihat lambang yang dikenakan di bahunya, ada
perlu apa seorang Bripka datang kemari. Danu merasakan gesture tangan yang
kasar saat menjabat tangannya, rupanya Polisi ini lebih menyukai pekerjaan yang
membutuhkan aktifitas fisik.
“Ya,
benar. Saya sendiri. Panggil Danu saja, Pak.” jawab Danu “Silahkan duduk.” Danu
mempersilahkan tamunya untuk duduk kembali, lalu berkata “ Ada keperluan apa
siang hari ini sehingga bapak-bapak datang kemari?” ketika Danu merebahkan
dirinya, dia membuat isyarat kepada Mbok Nem agar masuk ke dalam, dan
menyajikan minuman kepada tamunya.
“Begini,
kami dari Satuan Reserse Kriminal, sebelumnya apakah Pak Danu kenal, dengan
seseorang bernama Adi Perdana?” Bripka
Arifin mengatakan hal tersebut dengan kehati-hatian, dan menyuruh asistennya
untuk mengeluarkan sebuah beda kecil terbungkus plastik dari tas hitam yang
dibawanya. Danu menduga itu barang bukti, seperti yang sering dia tonton
ditayangan televisi.
Bripka Arifin memperlihatkan
kartu nama dengan noda merah di dalam kantong kecil tertutup rapat kepadanya.
Sebuah kartu nama dengan tulisan ‘Adi Perdana’ dan logo perusahaan yang
samar-samar dia kenali. Di samping tulisan nama pemilik kartu nama itu ada catatan nomor telepon miliknya dengan
tanda seru. Tidak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa noda itu darah yang
menempel. Bripka Arifin juga menyodorkan
sebuah foto kepadanya, dengan harapan Danu mengenali wajah di dalam foto
tersebut.
Melihat foto yang disodorkan
kepadanya, Danu segera mengenali sosok tersebut, sesuai harapan Bripka Arifin,
lelaki muda, perkiraannya berusia di awal tiga puluhan. Rambut sedikit gundul,
tampak jelas dia baru satu atau dua hari lalu mencukurnya. Agak berbeda dari
yang dia ingat, yang pasti Danu masih mengenali guratan di keningnya. Namun, perbedaan yang besar, sebulan lalu dia
bertemu dengan pria ini dalam keadaan masih hidup, bukan seperti di dalam foto.
“Ya,
saya kenal dengannya, Pak. Bahkan saya janji akan bertemu dengannya dua hari
lagi di sini” Danu sedikit terkejut ketika melihatnya, dan mulai merasakan
firasat tidak enak.
“Adi
Pradana ditemukan tewas terbunuh semalam di hotel yang dia singgahi.” usai
mengatakan hal itu, Danu melihat kembali beberapa foto Adi Pradana yang sudah
terbujur kaku dengan piama hotel di atas tempat tidurnya. Darah terlihat merembes
dari punggungnya, dilihat dari lukanya dia terbunuh karena kehabisan darah. “Adi Pradana tewas dengan luka tusukan di
punggungnya.” usai Bripka Arifin mengatakan hal itu, Danu langsung membayangkan
berapa banyak luka tusukan yang diterima lelaki muda itu hingga merenggang
nyawa. “Apakah anda tahu mengapa dia ingin menemui Anda lusa nanti? Karena kami
menemukan beberapa catatan yang menunjukan alamat serta nomor telepon anda.”
Bripka Arifin mengambil kembali foto dan juga barang bukti yang dia
perlihatkan, kemudian meminta asistennya memasukan kembali ke dalam tas yang
mereka bawa.
“Mas
Adi bisa dikatakan konsumen saya. Dia memesan sebuah pahatan, pahatan Jenderal
Guan Yu. Seharusnya bulan ini bisa saya selesaikan, namun saya belum berhasil
menyelesaikannya.” Danu diam sejenak “dia mengontak saya, dan mengatakan akan
melihatnya dulu sebagai bahan laporan ke atasannya.”
“Apakah
Anda tahu siapa atasan yang dia maksud?”
Danu
menggeleng, “Tidak. Dia tidak pernah mengatakannya.”
Bripka
Arifin meminta asistennya, untuk mencatat detail keterangan yang diberikan
dalam kunjungan ini. “Tapi, apakah Anda mempunyai gambaran atau perkiraan
tentang kepada siapa dia bekerja?”
“Hmm,
sama sekali tidak. Sejujurnya, saya tidak berminat tentang detail orang lain
jika dia tidak mengungkapkannya sendiri. Bagi saya pribadi, bekerja tanpa
diganggu urusan selain pekerjaan saya hanya buang-buang waktu.” Danu meringis
Bripka
Arifin hanya mengangguk, dia melihat sekeliling ruangan tamu, kemudian
melanjutkan pertanyaannya “Semua pahatan di sini apakah Anda yang memahatnya?”
“Oh,
tidak semua. Sebagian besar mendiang Kakek, atau Kakek buyut saya yang
memahatnya. Warisan dari generasi ke generasi. Sedikit. Hanya sedikit karya
saya yang dipajang di sini.”
“Hmm,
mengenai pahatan Guan Yu yang dipesan, apakah yang bersangkutan tidak
mengatakan apa-apa lagi kepada Anda?”
“Dia
hanya mengatakan, akan ada peresmian kantor cabangnya, dan atasannya meminta
sebuah hiasan yang dapat dipajang di dalam ruangannya. Saya menyanggupinya,
karena yah bayarannya juga sesuai,”
“Anda
katakan tadi, seharusnya pesanan tersebut diselesaikan bulan ini, dan Anda
tidak dapat menyelesaikannya?”
“Ya,
anda sedikit masalah dengan pergelangan tangan saya bulan lalu, jadi
pengerjaannya sempat tertunda”
“Pertanyaan
terakhir, ada di manakah Anda kemarin pada pukul sembilan malam?” ada penekanan pada
pertanyaan ini. Danu sadar Bripka Arifin ingin menanyakan alibinya pada saat
kejadian.
“Di
rumah” jawab Danu, yang dia yakini masih terlalu lemah untuk menguatkan
alibinya “saya sepanjang hari di rumah berada di dalam studio. Anda bisa
menanyakan hal tersebut kepada asisten rumah tangga saya.” Danu menunjuk Mbok
Nem yang terpogoh-pogoh datang membawa baki minuman. Mbok Nem yang langsung ditunjuk tampak gugup,
hampir saja dia membuat air yang hendak
dia tuangkan berceceran.
“Benar,
Bu? Apakah Bapak Danu berada di rumahnya kemarin malam?” Bripka Arifin kali ini
bertanya pada wanita paruh baya yang berada di hadapannya.
Sambil
beringsut, Mbok Nem menjawabnya pertanyaan yang diajukannya dengan lancar
“Benar, Pak. Den Danu sepanjang hari berada di studionya, baru setelah saya
pindahin tivi ke sinteron anak kota yang ganteng itu pak, Den Danu baru muncul
buat makan.” Danu berusaha tidak tertawa, namun perkataan si Mbok yang lugu
memancing senyumnya. Asisten Bripka Arifin juga tersenyum simpul ketika
mencatat keterangan yang diberikan oleh Mbok Nem.
“Jadi,
Anda berada di rumah ya,” Bripka Arifin mengangguk-angguk, seperti mereka-reka
keterangan di dalam benaknya, lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada Danu
yang sedang memperhatikannya “Maaf jika ini membuat Anda tidak nyaman, ini
prosedur kami dalam menyelidiki suatu kasus. Semua kemungkinan harus
diperhatikan.”
“Ya,
saya mengerti.” ucap Danu, sejujurnya ada rasa enggan berurusan dengan Polisi,
apalagi dikaitkan dengan kasus yang berat seperti ini. Dia memang menyukai
serial Sherlock, ataupun menyaksikan tayangan televise dengan berlatar belakang
detektif pembunuhan, tapi mendapatai dirinya etrlibat di dalam kasus nata itu
sangat jauh dari dugannya. Tidak lama setelah itu, para Polisi yang datang ke
rumahnya undur diri. Sambil berterimakasih atas kerjasama yang kooperatif
darinya, mereka mengatakan akan kembali jika ada keterangan yang masih
dibutuhkan.
Danu mengantarkan mereka hingga
depan rumahnya, matahari mulai beringsut ke arah barat,membuat bayangan semakin
memanjang. Langit jingga, merahnya merona, tapi mengingatkann Danu akan merah
darah yang dia lihat di foto Adi Perdana. Ketika tamunya sudah pergi dengan
kendaraan dinasnya, Danu kembali ke dalam rumah sambil terdiam.
“Anu,
Den…” suara Mbok Nem mengejutkannya “Tamunya apa kembali lagi?”
“Tidak
tahu, Mbok. Mudah-mudahan nggak. Tapi…” Danu bingung, kali ini kepada siapa dia
akan mengontak penanggung jawab pesanan Guan Yu yang dikerjakannya? Biasanya
dia hanya saling berkirim pesan tentang pekerjaannya dengan Adi, namun dengan
tewasnya dia, maka ada kemungkinan pesanan ini akan dibatalkan. Danu menghela
nafas sambil berkacak pinggang, dia lupa untuk menanyakan detail perusahaan
tempat Adi bekerja. Mau tidak mau dia harus pergi ke kantor polisi dan
menanyakan beberapa hal guna kepentingan menyambung hidupnya sendiri. Keputusan
yang tanpa disadarinya akan membawanya pergi jauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar