Bab 2
Bripka Arifin menerima kabar
pembunuhan Adi Perdana sesaat setelah dia sampai di rumah. Malam itu dia ada
acara dengan beberapa orang anak buahnya, dan baru kembali setelah hari larut.
Sebuah kasus pembunuhan sangat tidak biasa, bahkan jika bisa dia urutkan,
sepanjang karirnya di kota ini kasus pembunuhan jarang terjadi,atau bahkan
dalam ingatannya hanya ada tiga kasus yang berkaitan dengan nyawa pernah dia
tangani. Selebihnya hanya kasus pencurian, pertikaian keluarga, perkelahian
antar kampung, atau orang hilang.
Di kota dengan penduduk yang bisa
dikatakan lugu dan polos, tradisi menghormati orang yang disegani masih terjaga
kokoh, jika ada pendatang atau pelancong mampir di kota ini, bisa dipastikan
dia akan mendapatkan perlakuan seperti raja. Dia teringat pada masa awal
tugasnya ditempatkan di kota ini, semua orang menyeganinya,bahkan menganggap
jika dia lewat seolah-olah Bupati sedang
ikut serta. Lambat laun -dan butuh perjuangan ekstra- akhirnya dia mampu
menepis kesan tersebut, bukankah tugas seorang
Abdi Negara untuk menjadi pengayom warganya? Jika warganya segan, maka
dengan cara apa dia akan merangkul kesatuannya? Maka ketika kabar pembunuhan
Adi Perdana hinggap di layar ponselnya, dia secepat mungkin pergi menuju lokasi
kejadian. Ini kota kecil, kabar sekecil apapun dapat menyebar dengan cepat,
apalagi peristiwa besar semacam ini? Walau malam dingin mencekam, hal itu tidak
mengoyahkan semangatnya untuk bertugas, jika insting polisinya benar, maka
kasus ini bukan kasus biasa.
Hotel tempat korban ditemukan
tewas tidak mewah, di kota ini hanya ada tiga hotel, itupun hanya kelas melati.
Di parkiran depan ada dua buah mobil salah satunya berasal dari luar daerah
sini, mungkin mobil korban. Bripka Arifini masuk menuju loby penerima tamu, dikatakan loby hanya
sebuah meja cokelat dengan tinggi satu meter dan telepon yang sudah memudar
warnanya. Kursi-kursi dengan model tua, busa sofanya sudah mulai terlihat dan
mencuat keluar di berbagai sisi.
“Lapor!”
suara anak buahnya memecah keheningan saat dia datang, masih dengan pakaian
tugas lengkap, pastilah dia yang saat itu piket malam. Adrenalin memompa
semangatnya, siapapun yang mendapati kasus besar di tengah malam jelas akan
berapi-api. Tangannya yang memberi gerakan hormat singkat dia turunkan kembali,
“Kejadiannya ada di dalam, Pak! Kamar dua belas”
“Jelaskan
situasinya, singkat dan jelas!” seru Bripka Arifin kepada anak buahnya, lalu
dia mengikuti arah yang diberikan, menuju kamar dua belas. Hotel ini, mungkin
lebih tepat jika disebut losmen, memiliki dua puluh tiga kamar. Kamar nomor dua
belas yang disebutkan tadi berada di lantai dua bangunan baru, terpisah oleh
taman kecil dari bangunan utama. Mudah menemukannya, karena berada di dekat
tangga, dan sedang dikerubungi oleh beberapa petugas.
“Korban
ditemukan tewas oleh petugas hotel yang akan mengantarkan tamu untuk menginap.
Itu mereka” Bripka Arifin melihat kepada orang yang disebut sebagai saksi. Dia
mendengarkan kesaksian mereka. Karyawan hotel seorang laki-laki berusia awal
dua puluh tahun, dan pasangan yang gelisah ditanyai oleh petugas.
“Bapak
dan Ibu ini akan menginap di kamar nomor sebelas, di samping kamar Bapak Adi,
Pak. Sa..saya lihat pintu kamar ini terbuka, tapi keadaan gelap.”
“Lalu?”
Bripka Arifin kali ini membantu anak buahnya meminta keterangan dari saksi “Apa
yang kamu lihat, Mas….. hmm..” sambil membalik-balikan catatan keterangan yang
dipegangnya, berusaha mencari data nama para saksinya “ Mas Sofyan?”
“Karena
gelap, saya panggil bapaknya. Waktu itu pintunya sedikit terbuka, tapi, nda
dijawab-jawab. Padahal Pak Adi baru keluar besok siang. Ketika saya buka lebih
lebar, saya nyalakan itu lampunya. Lalu Pak Adi di sana berdarah, Pak
Polisi” tunjuk Sofyan padanya.
“Lalu
Bapak, dan Ibu ini?” liriknya tajam pada pasangan yang salah tingkah di
hadapannya “Saya asumsikan, Bapak dan Ibu kemari untuk sekedar menepis lelah,
benar?” ada penekanan di kalimat terkahir yang ditujukan kepada pasangan
tersebut.
“I..I..Iya
sih, Pak. Tapi bu..bukan kami, Pak. Sumpah.” kali ini sang lelaki berbicara
terbata-bata. “Ka..kami, cuma teman, Pak”
Bripka
Arifin tidak meneruskannya kembali, “Silahkan Bapak, dan Ibu nanti ikut anak
buah saya yang akan mendata identitas diri, dan juga..” belum selesai Bripka
Arifin berbicara, kali ini pasangan wanitanya yang menyela
“Pak,
bisa kita anggap ini tidak ada apa-apa? Bisa gawat kalau ketahuan orang rumah.”
“Bu,
justru lebih gawat lagi jika kami tidak mengklarifikasi keterangan kalian
berdua dari sekarang. Mungkin saja Ibu dan Bapak adalah pelakunya? Maka silahkan
ikuti anak buah saya untuk dimintai keterangannya. “penjelasan itu membuat
kedua pasangan tidak sah yang sedang bernasib sial itu menunduk lesu. Sudah
bisa dibayangkan kejadian yang akan membuntuti mereka setelah malam ini.
Bripka Arifin lalu memasuki kamar
tempat korban menginap. Kamar dengan satu tempat tidur, dan kamar mandi di
dalam itu lembab. Bau sprai bercampur kapur barus lebih mendominasi
dibandingkan harum pewangi ruangan yang ditempatkan di tepi teralis jendela. Tidak
ada tanda-tanda kerusakan di pintu, artinya korban membiarkan pelaku masuk.
Perlahan dia mendekati jasad yang terbujur kaku di atas tempat tidur. Masih
mengenakan piama, Bripka Arifin melihat sekelilingnya lagi dan menanyai Sofyan
yang tidak diizinkan untuk pergi “Mas Sofyan, piama ini” dia menunjuk piama
korban berwarna putih dengan noda darah “apa fasilitas penginapan?”
“Anu,
bukan, Pak. Di sini tidak ada baju ganti, mau pinjam peralatan mandi pun harus
menghubungi saya dulu baru dikasi”
Mendengar
hal itu, Bripka Arifin mengangguk. Artinya korban memang membawa piama ini,
atau seseorang yang mengenakannya. Dengan telunjuk yang digoyangkannya
perlahan, dia meminta salah seorang anak buahnya mendekat, “Prabu, coba kamu
buka piama korban. Kita lihat lukanya.”
“Siap,
Pak!” menggunakan plastik untuk melapisi tangannya. dengan cekatan Prabu membuka piama korban. “Ada
lima tusukan. Belum dapat dipastikan kedalaman tusukannya. Tapi dari darah yang
berceceran, dan suhu tubuhnya korban dipastikan meninggal lebih dari dua jam
yang lalu. Tampaknya karena kehabisan darah, Pak”
“Ada
barang bukti lain yang sudah ditemukan?”
“Tadi
kami melihat beberapa catatan di meja kecil dekat kasur. Ada hitungan, mungkin
pembelian barang karena jumlahnya lebih dari enam digit, sebuah dompet dengan
kartu identitas, dan kartu nama.”
“Uang
dan barang berharga lainnya?”
“Tidak
ada, Pak. Hanya tanda pengenal, dan kartu nama. Ini dia” Prabu menyerahkan
temuan barang bukti kepada atasannya.
“Kerja
bagus.” puji Bripka Arifin, dia memang
menyukai sistem kerja yang efisien, analisa cepat dan ringkas, sehingga dia
dapat mengambil langkah penyelidikan dari beberapa hipotesis yang sudah
terkumpul. Sambil melihat tumpukan kartu nama, dia memilahnya dan membacanya
dengan cermat. Korban sangat sering bepergian rupanya, ada tiket pesawat yang
masih tersimpan, beberapa kartu nama dengan perusahaan-perusahaan dari berbagai
daerah, dan satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah kartu nama yang
terjatuh di dekat kaki korban. Dia mengambilnya, rupanya itu kartu nama korban,
namun ada catatan singkat dengan nomor telepon di belakangnya. Nicholas
Danuwirya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar