Minggu, 17 April 2016

Bab 6-2

Dina menggenggam erat tas kerjanya yang bewarna putih gading dengan sekuat tenaga, pemandangan yang dia saksikan bersama koleganya seakan terjadi secepat kilat, tanpa jeda. Jika ini sebuah rekaman decoder pastilah dia bisa menghentikannya sejenak, tapi ini kenyataan yang membuat tenggorokannya tercekat. Dia hendak pulang saat tubuh Henry Santoso terjun bebas dan menghantam mobil Daniel yang ditumpangi oleh mereka berdua. Arloji di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam, dan tidak ada tanda-tanda dia bisa segera pulang setelah raungan suara sirine serta mobil ambulance berada di sini untuk mengevakuasi jenazah bossnya tersebut.

Dia melirik Daniel yang sedang merenggut-renggut rambutnya, petugas sedang menanyai dia, dan sejumlah saksi mata saat kejadian terjadi. Garis kuning polisi sudah terpasang, dan Dina hanya bisa melongo tidak mampu berkata-kata. Dadanya bergemuruh, entah dia harus sedih, senang atau kecewa. Dalam lamunannya Dina kemudian menyadari sebuah mobil mewah buatan pabrikan Jerman bewarna biru dongker masuk ke dalam area parkir, pintunya terbuka dengan cepat, dan dari pintu belakang penumpangnya langsung keluar tanpa menutupnya kembali. Ah, dia istri bossnya. Tentu saja dia akan datang dengan muka panik mengetahui hal ini.

                “Suami saya. Suami saya, Pak!!” ratap Miranda dengan histeris, tatanan rambutnya masih sama seperti terakhir kali dia melihatnya meninggalkan kantor malam itu. Namun, riasan make upnya luntur akibat air mata membuat wajahnya pucat.

Satu per satu mobil berdatangan ke area ini, membuat petugas kewalahan untuk mengantisipasi raungan dari orang-orang terdekat Henry Santoso

                “PAPA!” teriak Harshinta sembari berlari menuju garis polisi, namun segera dihadang oleh dua orang petugas yang sedang berjaga di dekatnya. “Papa! Papa!” serunya berulang-ulang, seorang polisi wanita bergegas mendatanginya agar Harshinta dapat tenang dan tidak menghalangi proses penydidikan

                “Dina!” panggil Daniel padanya, mengeyahkan pandangannya dari adegan dua orang yang selalu berselisih paham, tapi bisa menjadi satu dalam kejadian tragis seperti ini “Saya bersama Dina, sekretaris Pak Henry saat kejadian itu. Bapak dapat mengkonfrotir keterangan saya padanya, juga pada satpam yang bertugas”

                Petugas itu melirik Dina, dan mulai bertanya padanya “Apakah benar, Bapak Daniel, dan Ibu berada di dalam mobil saat kejadian?”

Dina mengangguk, “Be..benar, Pak”

                “Bisa dijelaskan, apa saja yang anda dan Bapak Daniel saat itu lakukan, sehingga harus pulang larut di hari naas ini?”

                Dina menelan ludahnya, dan mulai berbicara “Kami ..lembur” sejenak dia menatap Daniel, dan Daniel seolah merespon dengan anggukannya. “Ada pekerjaan untuk perjanjian jual beli yang harus diselesaikan besok, jadi saya mengurusnya. Kebetulan Pak Daniel juga sama masih ada di kanotr, dan kami janji untuk pulang bersama”

                “Apakah kalian berdua punya hubungan khusus?”

                 Dina sontak menggerakan kedua tangannya “Tidak, Pak! Kami hanya rekan kerja”

                “Iya, saya harus menyiapkan pembukaan restoran baru punya Ibu Miranda besok, jadi ada pekerjaan yang harus saya selesaikan mala mini. Kami rekan kerja, Pak. Saya hanya berinisiatif mengantarnya pulang, akrena hari sudah malam”

                “Lalu, apa yang terjadi? Pukul berapa Anda, kalian berdua maksud saya, keluar dari kantor?” tanya petugas tersebut sambil mencatat keterangan dari mereka berdua dengan detail

                “Sekitar jam delapan lewat, saya ingat waktu itu saya masuk ke dalam mobil saat ada pertandingan sepakbola di ruangan satpam berjaga. Kira-kira sekitar jam setengah Sembilan sepertinya”

                “Anda juga, Ibu Dina?”

                “Eh, ng, saya menyusul Pak Daniel. Pak Henry meminta saya membantunya, jadi saya baru turun setelah jam sembilan lewat.”

                “Ah, benar Pak. Dina menyusul saya, setelah yah, lima atau sepuluh menit baru saya menyalakan mobil. Dan saat itu… Pak Henry terjatuh”

                “Maaf, Pak,” suara seorang wanita menyela sesi introgasi mereka, Miranda mulai menanyakan tentang suaminya pada petugas yang menanyai mereka “Apa yang terjadi, dengan suami saya?” suaranya terdengar tercekik pelan. Air mata tidak henti-hentinya mengalir dari bola matanya yang indah.

                “Begini..maaf, biar bagian forensik dan atasan saya yang akan menjelaskannya pada, Ibu. Silahkan ibu tunggu sebentar, akan saya panggilkan.”

                “Saya butuh penjelasannya, Pak. Siapa yang melakukannya? Mengapa suami saya yang harus menjadi korbannya?”

                “Ibu, saya mohon Ibu tenang dulu. Biarkan kami para petugas melakukan pekerjaannya” tapi tidak lama setelah itu seorang petugas forensik datang bersama dengan seorang pria berjaket kulit hitam.

                “Ibu Miranda. Saya Sofyan, dari unit reserse kriminal. Kami turut berduka cita, bahwa suami anda Henry Santoso, tewas terjatuh dari lantai dua. Perlu saya sampaikan, apakah tadi Anda datang kemari?”

                Miranda terkulai lemas ke tanah, dari belakang seorang polwan terpogoh-pogoh membantunya berdiri kembali, “Benar. Saya datang, namun malah saya bertengkar dengannya” Miranda mengatakannya sambil terisak lirih

                “Bertengkar?” tanya Bripka Sofyan padanya

                Miranda mengangguk, “Saya marah padanya, karena sikap putri kami. Setelah itu saya pergi”

                “Lapor, Pak! Saya telah memastikan kamera pengawas, memang benar Ibu Miranda datang, tapi dia pergi kembali tidak lama setelahnya “ ujar salah seorang petugas

                “Jika anda bertengkar, jika begitu…maaf saya harus tanyakan hal ini pada Anda, mengapa bisa ditemukan bekas sperma pada pakaian korban? Apakah Ibu melakukan hubungan dengan korban saat itu?”

                Miranda melonggo, dan menggeleng “Saya ..tidak….” sedikit bingung, tapi tidak lama dia menoleh ke arah sekretaris suaminya yang berdiri tidak jauh dari mereka, “Apa kamu…… Dina?” tanyanya pelan namun menusuk dan dingin

                Mata semua orang menuju pada arah Dina yang berubah pucat pasi. Miranda bangkit, lalu berusaha mencengkram kerah bajunya, untung petugas dengan sigap menghentikan wanita tersebut.”Apa kamu pembunuhnya?!” teriak Miranda

                Dina mulai menangis, dan histeris “Tidak! Tidak! Bukan saya, sungguh pelakunya bukan Saya, Pak!”

                Bripka Sofyan menghela nafas, tampaknya ini lebih rumit dari kasus pembunuhan biasa, “Ibu Dina, sekali lagi saya tanyakan pada anda, apa yang anda lakukan di malam Henry Santoso tewas?”

                “Kamu kira, saya tidak tahu Dina?! Saya tahu, saya tahu! Kamu dan suami saya….” Miranda kembali berteriak dan menangis

                “Apakah benar apa yang dikataan olehnya? Bripka Sofyan mepertegas pertanyaannya

                “Saya..saya tidak membunuhnya….tapi, saya memang mencitainya, Pak!” Dina menutup mukanya dan membiarkan air mata mengalir bersama rasa penat di dadanya. Malam semakin dingin, seperti tubuh Henry Santoso yang sudah mulai mendingin, terbujur kaku dalam kantung hitam yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berteriak.

Minggu, 10 April 2016

Bab 6

Dengan tertatih-tatih Danu mengangkat sebuah kanvas berukuran besar dari gudang menuju halaman belakang. Kemarin dia membereskan semua perlatan seninya di rumah ini, dan lukisan Miranda yang tidak sempat dia selesaikan sejak bertahun-tahun lalu termasuk ke dalam barang yang akan dia singkirkan. Setelah semua menumpuk di halaman belakang, dia mulai menyalakan api. Tidak cukup sulit, karena sebagian besar barang-barang ini terdiri dari cat minyak yang mudah sekali terbakar.

Api mulai menyeruak, meletup-letup kecil dan menjalar perlahan seiring memakan seluruh kenangan Danu terhadap Miranda. Dalam hati kecilnya dia cukup miris, di tengah udara Jakarta yang panas, dan lapisan atsmosfernya sudah berlubang di sana sini, dia membebani kota ini dengan asap kenangannya.Walaupun begitu, dia akan menghadiri peresmian restorannya yang terbaru, bukan sebagai teman ataupun bekas teman, melainkan sebagai kolega bisnis, seperti yang dia putuskan. Masih ada waktu tiga jam lagi untuk bersiap-siap, Nita juga sudah menyiapkan makan pagi untuknya sebelum berangkat mengantar anaknya, sementara ayahnya masih mengurung diri di kamar. Nita pernah menyinggung kebiasaan ayahnya yang baru ini ‘Mas, sekarang Ayah kalau nggak pergi kemana-mana nyaris tidak pernah keluar kamar, kalau kupanggil hanya menyahut setelah itu seperti tidak ada apa-apa’ , yah, dia merasakan kekhawatiran adiknya itu, tapi berbicara dengan ayahnya tidak semudah yang dipikirkan olehnya. Masih ada tembok pembatas antara dia dan ayahnya, yang sangat sulit untuk dia robohkan dengan satu pukulan.

Danu meninggalkan kanvas yang terbakar, dan beranjak menuju ruang makan. Dia mengambil sehelai roti tawar dan mulai memakannya. Teleponnya sedari tadi begetar karena bunyi pesan, ada tiga pangilan tidak terjawab, dan lima pesan singkat. Sangat aneh baginya menerima pesan sebanyak ini, selain iklan operator telepon yang menawarkan premium call ataupun tips-tips percintaan dari majalah picisan. Sambil memindahkan saluran televisi, Danu mengamati satu per satu panggilan masuk dan pesan singkat ke dalam ponselnya. Satu pesan cukup membuat dia mengerrenyit dan terkejut, ditambah dengan isi dari pesan tersebut.

‘Selamat Pagi Bapak Danu, saya Arifin. Saya minta nomor telepon ini dari pembantu anda, sedari tadi saya mencoba menghubungi tapi tidak ada jawaban. Apa Mas Danu masih di Jakarta? Ada yang perlu saya tanyakan segera. Terimakasih”

Bripka Arifin menghubunginya, dan panggilan masuknya datang dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama. Dia melihat ke arah saluran teleisi, bersamaan dengan suara pintu kamar ayahnya yang terbuka. Ayahnya masih menggunakan celana bokser kebesaran dengan motif cokelat muda kotak-kotak. Agak kontras dengan tubuhnya yang kurus, membuatnya terlihat tenggelam dalam pakaian itu. Kacamata bacanya terlihat longgar, dan dia menuju lemari pendingin, mencoba mencari sesuatu yang bisa diminum. Nita selalu menyediakan jus buah segar, baik yang dia buat sendiri atau yang sudah terkemas dalam karton minuman.  

                “Kalau jus, ada di sini, Pah” Danu mengangkat sebuah pitcher dengan air bewarna kuning segar, dan menunjukan pada ayahnya. Canggung, tapi melihat ayahnya yang sudah terbilang memasuki usia senja, tidak ada salahnya dia mencairkan suasana.
Ayahnya hanya mendongak, tanpa suara dia menghampiri Danu yang sudah duduk di kursi sembari memegang gelas minuman dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk melihat ponsel pintarnya.

                “Tolong isikan punya Papa” jawab ayahnya

Danu tertegun, lalu mengambil segelas cangkir dan menuangkan jus jeruk ke dalamnya. Sudah lama dia tidak berbicara seperti ini dengan ayahnya, bahkan ini adalah percakapan normal yang mereka miliki setelah lebih dari satu dasawarsa.


                “Segini cukup?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan ayahnya yang sedang membolak balik Koran terbaru hari ini. Satu hal menarik perhatian Danu, headline surat kabar itu. Dia menoleh kea rah televisi yang menapilkan berita khusus Ibukota pagi ini dan hampir tersedak dengan air liurnya sendiri. Tulisannya cukup jelas, dan kentara “DIREKTUR PERUSAHAAN RETAIL, HENRY SANTOSO, TEWAS TERJATUH”

Selasa, 05 April 2016

Bab 5-3


Berkutat di depan komputer bersama dengan setumpuk data untuk kegiatan esok hari bukanlah lembur yang menyenangkan. Bagi Daniel, kematian Adi membuatnya mendapatkan banyak pekerjaan yang sangat sulit dia lakukan sendiri. Peresmian unit usaha kuliner milik istri atasannya dalam hitungan jam, dia sudah menugaskan dua orang dari timnya untuk mengecek kelengkapan di lokasi, sementara dia merapihkan adimistrasi di kantor, seharusnya saat ini dia bisa bersantai di sebuah bistro daerah Kemang bersama kawan-kawannya , mencari perempuan untuk diajak kenalan, jika beruntung mungkin bisa berlanjut hingga tengah malam.

Bisa saja dia menolak, tapi Ibu Miranda bukan wanita bodoh seperti atasan wanitanya yang lain. Dibalik sikapnya yang tenang dan elegan, terkadang Daniel merasakan karakter tangan besinya dalam urusan bisnis. Dia pernah mendapatkan omelan hampir seharian penuh karena salah mengkalkulasi perhitungan kerjasama dengan salah satu bank besar di sini. Hanya orang bodoh yang tidak mau belajar dari pengalaman, dan dia tidak mau termasuk ke dalam salah satunya.

Beberapa lampu meja mulai dimatikan, petugas kebersihan juga sudah selesai mengepel lantai ruangan ini. Minum kopi sejenak mungkin bisa melepaskan rasa lelah, gumamnya dalam hati. Dengan langkah berat Daniel beranjak dari kursinya, membawa cangkir yang selalu ada di atas mejanya, dia menuju ruang pantry. Jam di dinding kantor menunjukan jam delapan lewat sepuluh, sudah lewat tiga jam dari waktu pulang normalnya. Dengan malas, Daniel membuka bungkus kopi satchet beraroma mocha dan menyeduhnya perlahan. Aroma kopi menyeruak dan membangkitkan instingnya untuk merokok, namun dia harus keluar beranda untuk sekedar menyalakan pematik. Ada aturan jelas tentang larangan merokok di kantor ini, pencetusnya siapa lagi jika bukan para wanita yang risih dengan bau asap di dekat mereka, dan keinginan untuk merokok sudah tidak bisa diajak berkompromi, dia harus kembali ke ruangannya sejenak untuk mengambil satu bungkus candu itu.

Melewati dekat ruangan bossnya, Daniel dikejutkan oleh bunyi ‘ckrek’ pelan dari ruangan Herry Santoso. Rupanya Dina, sekretaris bossnya yang baru saja keluar. Mungkin dia  terkejut, sama halnya dengan dirinya yang mendapati karyawan lain yang masih berada di kantor selarut ini.

                “Lembur, Din?” sapa Daniel padanya, Dina hanya mengangguk.

                “Iya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pak Daniel belum pulang juga?”

                “Sama denganmu. Masih ada yang harus dikerjakan untuk besok”

                “Buat peresmian restoran itu ya?” tanya Dina padanya

                “Iya. Pesanan dari Ibu nih. Kamu mau pulang?” Daniel melihat Dina sudah mulai memasukan beberapa barangnya ke dalam tas.

                “I..iya. Sudah malam sih.”

                “Ya sudah biar aku antar deh.” Daniel memutuskan untuk pulang juga bersama dengan Dina, dia juga sudah merasa lelah saat ini, walau dia tidak terlalu dekat dengan sekretaris bossnya itu, tapi perempuan ini bisa menjadi alasan yang bagus jika dirinya ditanya mengapa dia pulang lebih cepat sementara dua orang anak buahnya masih berkutat dengan seremoni  esok hari?

                “Memangnya sudah selesai semua, Pak?”

                “Besok pagi sekali akan aku selesaikan. Sudah capai banget. Kamu tunggu sini ya, Din. Saya ambil tas saya lebih dulu”

Daniel hendak pergi ketika, Miranda Santoso datang dengan terburu-buru, suara sepatunya bagaikan tabuhan simbal di tengah ruangan yang hening ini, dan langsung masuk ke dalam ruangan suaminya. Dia dan Dina hanya saling pandang, sambil mengangkat bahu mereka.  Tidak lama terdengar suara gaduh dan ribut dari dalam ruangan Herry Santoso. Kadang-kadang, mereka memang selalu berselisih pendapat, dan tidak peduli apakah sedang di kantor sekalipun. Para karyawan sudah maklum akan hal tersebut, namun ketika badai itu reda mereka akan tampak seperti pasangan bahagia yang tidak pernah ada masalah.

                “Kenapa lagi, Din?” bisik Daniel pada Dina yang berada di sampingnya. Rasa ingin tahunya muncul begitu saja.

                “Entahlah, Pak. Kayaknya masalah anaknya, Shita.”

                “Pokoknya, kamu harus cepat pulang, Pih! Beri tahu anak gadismu, di mana dia harus menempatkan etika dan tata kramanya! Tidak sepantasnya dia melunjak di hadapanku, Miranda Santoso! ” usai menyerukan hal itu, Miranda Santoso membanting pintu ruangan suaminya dengan keras dan berlalu. Meninggalkan dua orang karyawannya yang masih menatapnya dengan melongo.

                “Sial!” terdengar umpatan dari dalam pintu, dan Herry keluar sambil berkacak pinggang. Melihat kearah dirinya dan Dina yang masih berada di depan pintu, suasana yang benar-benar tidak mengenakan. “Kalian masih di sini?” tegurnya dengan nada tinggi

                “Ka..kami sudah mau pulang, Pak.” jawab Daniel dengan terbata-bata, dia enggan terkena murka dari atasannya. Dina hanya menunduk, dan mengiyakan pelan

                “Hah! Dina kamu bantu saya sebentar”

                “Ta..tapi saya..” Dina melirik ke arah Daniel meminta bantuan dari rekan sekantornya itu

                “Kami tadinya mau pulang bersama, saya mau mengantarnya, Pak”

                Herry Santoso melihat arlojinya yang mengkilap, memang sudah larut, “kamu tunggu saja di parkiran, biarkan Dina membantu saya sebentar” kali ini Herry menurunkan nada suaranya. Daniel hanya mengiyakan, dan mengatakan pada Dina bahwa dia akan menunggu di parkiran mobil.

Benar saja parkiran pun sudah sepi, hanya dua orang satpam yang berjaga terlihat di posnya sambil menyaksikan tayangan televisi. Ada turnamen sepakbola, dan pastinya mereka membuat taruhan tentang klub mana yang akan keluar menjadi pemenangnya.

                “Pak Daniel!” lambai salah seorang satpam kepadanya “Belum pulang, Pak?”

                Daniel hanya tersenyum dan menyahut “Belum. Lembur!” setelah itu dia masuk ke dalam mobil, meletakan tas kerjanya di jok belakang dan menyalakan power mesinnya. Suara blower AC terdengar, seiring hawa dingin yang menerpa, dia menyalakan radio mencari lagu kesukaannya diputar di frekuensi tertenntu, dan benar saja dia menemukannya. Menunggu membosankan, tapi dengan kecanggihan dunia teknologi bernama telepon pintar, semua kebosanan bisa teratasi. Apalagi begitu banyak pesan yang masuk selama dia menyelesaikan pekerjaannya belum sempat dia balas satu persatu, itu cukup untuk membuat pikirannya teralihkan.

Setelah beberapa lama, Daniel melihat jam yang tertera di layar ponselnya. Sudah hampir empat puluh menit dia menunggu, rupanya lama juga dia menunggu Dina turun. Namun, ketika hendak menelepon sekretaris bossnya itu, ada yang mengetuk kaca mobilnya. Dina sudah datang sambil terengah-engah.

                “Pak Daniel, maaf sudah menunggu lama.”

                “Ya sudah, ayo masuk Din.” Daniel menatap Dina yang tampak berantakan. Pasi dia berlari menuruni tangga ketika turun. Elevator sudah dimatikan sejak pukul delapan oleh penjaga, jadi semua karyawan harus memakai tangga jika mereka terjeak dalam lemburan yang padat. “Ada air minum di belakang, jika kamu kehausan, Din. Minum saja, tidak apa-apa. Santai saja dulu. Habis berlari?”

                Dina menengok ke arah belakang, dia mendapati dua buah minman gelas yang amsih tertutup, dan mengambilnya “Eh? Iya.. tadi sedikit berlari. Ga enak sudah ditungguin, padahal Bapak pulang saja duluan”

                “Jangan, nggak baik perempuan pulang malam sendirian. Jakarta apalagi, bisa-bisa besok kamu dibegal orang bagaimana? Sudah ya? Kita berangkat” Daniel memasukan persenling mobilnya, dan bersiap untuk tancap gas, namun belum sepuluh meter dia beranjak sebuah benturan kencang terdengar di depan dashboard mobilnya.

Tertegun, tanpa bisa berkata-kata mereka berdua melihat sebuah tubuh menghantam kap depan mobilnya. Dina menjerit histeris, para satpam  bergegas menghampiri sambil berteriak. Daniel keluar segera dari mobilnya dan serasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tubuh atasannya, Herry santoso, jatuh terdampar di atas kap mobilnya. Berlumuran darah.


Sabtu, 02 April 2016

Bab 5-2

Bau asap rokok pekat menyelimuti ruangan, Danu melihat ke sekelilingnya, sinar matahari sudah memasuki kamar ini entah sejak berapa jam yang lalu. Di sampingnya seorang wanita cantik sedang menghisap sebatang rokok di sela jemarinya yang lentik, kulitnya yang putih makin bersinar karena sentuhan cahaya yang menerpanya. Danu menyentuh helaian rambutnya, dan wanita itu pun menoleh ke arahnya,  tersenyum dan memanggilnya pelan “Sudah bangun?”

Danu membalas senyumannya, menarik lengannya dan membuat wanita tersebut kembali ke dalam dekapannya. Terdengar cekikik kecil, tapi dipagutnya bibir merah mungil itu dengan gairah yang mengebu. “Dan, sebentar, aku belum simpan rokok ini” ucap wanita dalam dekapannya. Danu menghiraukannya, jemarinya terus bergerak menyisiri tiap jengkal lekuk tubuh wanita ini, menicumi rambutnya seakan dunia akan berakhir esok hari, seraya berkata “Kamu cantik sekali pagi ini, Mir!”. Perempuan itu tertawa, dan menghempaskan tubuhnya pelan, Danu merasakan kepalanya berputar dalam labirin hitam, saat tersadar dia mendapati dirinya tengah terengah-engah dalam kamar yang pengap.

Butuh waktu agak lama bagi Danu untuk membiasakan diri, dia melihat arloji di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, sudah lewat dari jam delapan pagi, bahkan hampir menyentuh angka sembilan. Pantas saja hawa terasa gerah, penghitung waktu dari mesin pendingin ruangan pastinya sudah mati sejak tadi. Badannya terasa lelah akibat perjalanan kemarin,  setelah memukul-mukul pundaknya dengan kepalan tanganya, Danu membuka pintu kamarnya menuju ruang makan.

Rumahnya sepi, kedua mobil yang kemarin terparkir sudah tidak ada di parkiran garasi. Nita kemarin memang bilang padanya jika mereka selalu berangkat sebelum jam delapan. Apalagi dia harus mengantar anaknya ke kelompok bermain terlebih dahulu. Danu mengambil secangkir gelas, dan menuangkan air mineral ke dalamnya. Meneguknya perlahan, membiarkan rasa dingin menerjang kerongkongannya. Pertemuannya kemarin malam dengan Ayahnya juga berlangsung singkat, dia hanya berkata ‘Kamu datang?’ lalu segera masuk ke dalam kamarnya. Yah, dia sendiri juga tidak mengharapkan pelukan selamat datang, atau sambutan hangat layaknya film televisi dengan air mata bercucuran.

Sepanjang ingatan Danu tentang ayahnya, Budi Sudawirya, yang langsung teringat adalah sifatnya yang kaku. Dia seorang dokter spesialis penyakit dalam, sepanjang karirnya bisa dikatakan cemerlang. Lulus dari sekolah kedokteran ternama di negeri ini, mendapatkan beasiswa kedokteran ke Belanda guna melanjutkan studinya, dan bekerja di rumah sakit yang bonafit di salah satu kawasan di Jakarta. Tidak heran dia menginginkan anak-anaknya meneruskan jejaknya, yang sudah dipatahkan oleh Danu sebagai anak tertua. Kedokteran tidak menarik baginya, walalupun kapasitas otaknya saat dia masih sekolah cukup untuk memasuki jurusan yang diperebutkan oleh banyak orang. Akhirnya Nita yang melanjutkan harapan ayahnya agar garis dokter masih ada dalam garis keluarga mereka.

Menurut ibunya, ayahnya sangat kecewa ketika mengetahui Danu tidak tertarik sama sekali menjadi seorang dokter, apalagi dia anak laki-laki di keluarga ini. Walaupun ibunya mendukung keputusannya masuk ke jurusan Seni, Danu tahu bahwa semenjak itu hubungan antara ayah dan ibunya sering dilanda masalah. Ada saja alasan yang membuat ayahnya untuk melampiaskan kekesalannya di rumah, jika dinding ruang makan ini bisa bicara entah berapa banyak peralatan pecah belah sudah berterbangan di sini.


Sekilas masa lalu juga mengingatkannya akan pertemuannya kemarin dengan Miranda, wanita yang hadir kembali di alam mimpinya, dalam sekilas dia bisa mengetahui jika Miranda sekarang sudah hidup nyaman. Herry Santoso adalah sosok pria ideal baginya, dibandingkan dengan dirinya yang hanya seorang seniman, itupun bukan seniman sesungguhnya, lebih tepat dikatakan menggantungkan hidup dengan menjual karya. Nita mengatakan bahwa beberapa barangnya disimpan di gudang, jadi hari ini dia akan melihat kondisinya, sekaligus menyingkirkan beberapa peralatan yang dirasa sudah waktunya untuk dibuang.