Kamis, 12 April 2012

The Raid : Adrenalin Rush Versi Indonesia

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya minggu lalu saya berhasil menyaksikan film ini. Memang sudah lewat dari minggu penayangan perdananya, tapi animo untuk menyaksikan film ini tidak pernah surut. Seperti apa sih film yang menjadi perbincangan di festival film Toronto tahun lalu ini? Walaupun banyak orang telah membuat review tentang film ini,nampaknya belumlah afdol jika saya belum mengulasnya juga (film ini juga termasuk ke dalam daftar '10 film rekomendasi' ala purpleneko).

Sinopsis
Inti dari film ini sangatlah simple, penyerbuan tim SWAT untuk menggerebek sebuah apartemen yang menjadi markas gembong narkotik kelas kakap di Jakarta,yang dipimpin oleh Tama. Tidak ada polisi yang berani mengusik keberadaan apartemen yang juga dijadikan "tempat tinggal" bagi penjahat yang diizinkan oleh Tama. Hingga suatu hari 20 orang polisi membuat misi untuk menyerbu tempat ini. Semuanya terlihat mulus, hingga sebuah kejadian tidak terduga membuat para penghuni apartemen terusik. Terperangkap tanpa jalan keluar, dan para penjahat yang memburu mereka, maka dimulailah mimpi buruk bagi Rama( Iko Uwais) dan rekan-rekannya.

Kesan Penulis
Kata petama yang akan saya ucapkan adalah : Kurang Ajar! Bukan tanpa alasan saya bicara seperti itu, sepanjang film saya harus menahan nafas terus menerus, dan mencengkram lengan. Gareth Evans berhasil membuat adegan laga dengan sangat apik. Dari segi sudut pengambilan gambar, setiap adegan serasa nyata. Ekspresi ketakutan korban sebelum menghadapi kematian tersampaikan kepada penonton. The Raid adalah film kedua dia dalam mencampurkan pencak silat setelah diawali dengan "Merantau", dan masih bekerja sama dengan Iko Uwais sebagai titik sentral film. Bukan tanpa alasan mengapa pencak silat dipilih sebagai unsur utama, disamping ingin mengenalkan beladiri khas Indonesia, pada dasarnya pencak silat sebuah beladiri yang sebenarnya bertujuan untuk membunuh bukan self defense seperti halnya karate. Namun perkembangan jaman dan juga mobilitas penduduk, banyak yang hanya mengenal pencaksilat sebagai kesenian beladiri saja. Di dalam film ini penonton akan diajak bagaimana pencak silat bukan hanya gerakan tangkis dan serang, tapi sebuah ritme mematikan yang dapat melumpuhkan lawan. Sebagai catatan, dalam pertandingan olahraga menggunakan sikut untuk menyerang lawan dilarang, karena berpotensi untuk membunuh lawan.

Iko Uwais sebagai Rama, tentunya tidak akan memainkan perannya dengan sempurna tanpa kehadiran Ray Sahetapy yang memerankan Tama,sang antagonis. Entah karena wajahnya yang mendukung (maaf om Ray), atau orang memang lebih mengenalnya sebagai spesialis di dunia antagonis. Kesan yang saya tangkap adalah penjahat berdarah dingin yang disatu sisi pintar. Dia membuat sistem pertahanan apartemen tidak hanya dari keamanan di dalam, tapi dari luar,salah satunya menyuap polisi. Mengingatkan saya pada Heath Ledger di film Batman: the Dark Knight.

Adegan laga yang apik, dan kombinasi para pemain membuat film ini memang layak untuk masuk ke dalam jajaran Box Office di Amerika. Tidak sedikit kritikus yang memuji film ini,prestasi yang membanggakan untuk dunia perfilman kita. Namun, masih ada beberapa hal yang penulis perhatikan dalam film ini.
1. Kamera
Beberapa adegan, terutama di adegan awal operasi penyerbuan terasa pengambilan gambar sedikit bergoyang. Apakah faktor keterbatasan dana menjadi salah satu alasan sehingga peralatan yang digunakan bisa dikatakan "mimimalis"?
2.Kejanggalan Adegan
Terdapat adegan di mana mobil mereka ditembaki serentetan peluru, dan latar belakangnya adalah lalu lintas yang ramai di siang hari. Apalagi jenis mobil a****a terlihat lalu lalang di belakangnya. Normalnya orang pasti mendengar rentetan tembakan,apalagi senapan yang digunakan tidak hanya satu. Penulis beranggapan bahwa apartemen itu memang untouchable maka tidak ada yang berani mendekat( ^_^)

Jika anda mengharapkan drama atau cerita kompleks bin ruwet, maka anda tidak akan menjumpainya di sini. Walaupun penulis rasa ceritanya masih bisa dibuat sedemikian rumit, dan masih banyak hal yang belum tersampaikan secara menyeluruh di The Raid (apakah akan disimpan untuk sekuelnya?). Tapi hal itulah yang cocok untuk masyarakat Indonesia, belum tentu semua orang ingin menyaksikan drama dalam film laga, apalagi adegan cinta (ayolah, siapa yang mau menyaksikan cinta segitiga di bawah hujan sementara darah di mana-mana?). Film ini juga tidak disarankan bagi remaja, dan mereka yang mempunyai jantung lemah. Beberapa adegan di sini mempunyai efek lebih menyeramkan dibandingkan hantu tanpa kepala yang mengejar wanita di kamar mandi, atau perseteruan gadis populer menjadi bintang musik terkenal. Overall, penulis memberikan rating 4,5/5 untuk The Raid. Semoga sekuelnya bisa melebihi film pertamanya. Mungkin perlu juga ditambahkan komposisj bagi film ini, 97% aksi, 2% drama, dan 1% kesegaran daun mint.

referensi: The Raid on Dublin Film Festival

Posted via BlogPost

Tidak ada komentar: